27/11/07

Rumput yang berbunga

Suatu ketika ane baru sadar bahwa dibawah cendela kantor ane ditumbuhi rumput yang berbunga. Sebelum itu, ane tidak pernah sadar atau memperdulikannya. Yah..wajar saja sih. Lha ngapain ngurusin rumput dibawah cendela? Pekerjaan ane banyak. Ane pun dibayar juga tentunya bukan untuk ngurusi rumput. Urusan ane di kantor jauh lebih penting dari soal rumput. Persoalan dalam pekerjaan ane telah menyedot dan menghipnotis semua perhatian ane hingga puyeng.

Tapi hari itu ane bener-bener lagi puyeng dengan banyaknya persoalan yang mesti di selesaikan. Ketambahan lagi....ac di kantor...mati! Huh..bikin emosi cepet naik nih. Hem...perlu melakukan sesuatu nih, pikir ane. Ane coba untuk sedikit menghirup nafas dalam-dalam biar lebih rileks dan menurunkan emosi. Biar lebih pass lagi, ane coba membuka cendela dibelakang tempat duduk ane. Sambil melongok keluar, ane kemudian meneruskan menghirup udara dalam-dalam. Nah..pass waktu itu ane tiba-tiba melihat kebawah cendela, nampak bunga kecil-kecil warna kuning bermekaran diatas rumput.

Entah kenapa, bunga-bunga itu seolah menyapa, tersenyum kepada ane. Semakin ane pandang, semakin indah saja rupanya. Seketika itu pula perhatian ane fokus tertuju pada bunga-bunga kecil itu. Persoalan kerja tiba-tiba entah hilang kemana. Ane terpukau. Semakin ane amati, bunga-bunga itu nampak begitu menakjubkan. Luar biasa!

Ane yakin, ini bukan kebetulan semata. Tidaklah mungkin bunga-bunga itu tumbuh begitu saja tanpa tujuan. Tapi apa tujuannya? Hm..seandainya saja bunga itu ditangan seorang pecinta yang mendekati dan mempersembahkan bunga-bunga itu kepada kekasihnya....dan pecinta itu pun ucapkan puisinya;

Kuberikan padamu, kuntum bunga indah menakjubkan
Begitu Ku menyapamu, agar mudah kau mengenal Ku
Tuk yakinkan dirimu akui mu milik Ku dalam cinta dan kasih Ku


Ane seketika itu tersentak. Bunga-bunga itu adalah nyata! Nyata berada di depan ane dan ane melihatnya. Tentu saja bunga-bunga itu untuk ane. Seperti dalam puisi itu!

Sungguh tergetar hati ane. Bunga-bunga itu diberikan. Ane hanya diberi. Berarti ADA yang memberi. Tak mungkin ane menerima bunga begitu saja tanpa melihat atau ingat dengan pemberinya. Intinya adalah Sang Pemberi bukan pemberian itu sendiri. Begitu sadar ane, bahwa tentu ADA yang menyapa ane, ADA yang memberikan bunga-bunga itu untuk ane. Ane hanya bisa mengakui, KAU benar ADA dengan cinta dan kasih.

Sungguh luar biasa nan menakjubkan. Bunga kecil yang begitu indah diberikan Nya. Tak hanya itu, namun juga sampai bunga mawar merah super nova yang super besar di langit pun Dia berikan. Bunga-bunga dalam bentuk lain pun Dia berikan. Dari pekerjaan, persoalan sampai pada tubuh diri ini Dia berikan. Alam semesta dari yang kecil sampai yang besar, dari yang terlihat sampai yang tidak terlihat, dari nyata sampai yang gaib, dari gerak sampai diam, semua Dia berikan. Namun Dia yang selalu memberi justru lebih sering terlupakan dengan hanya melihat pemberian Nya saja. Ane mohon ampun.

Maha Suci Dia. Segala Puji dan Puja hanyalah milik Nya. Dia Maha Besar.

21/11/07

Lebih dari kesalahan

Apakah permintaan maaf hanya patut diucapkan saat kita merasa bersalah? Ataukah permintaan maaf sekedar soal sepele tanpa makna yang menjadi tradisi? Ane punya pengalaman tentang maaf ini.

“Seminggu lagi saya pensiun. Maukah anda memaafkan saya dan tetap menjadi sahabat saya meskipun saya telah pensiun?” Kalimat itu terucap untuk ane dari seorang pejabat tinggi senior sebuah perusahaan di Jepang. Ane agak bengong juga mendengarnya. Apa gak salah denger nih pikir ane? Beliau itu khan customer penting bagi perusahaan tempat ane kerja. Mestinya ane yang bilang gitu karena ane musti melayani beliau sebagai customer ane. Kaget campur bengong, namun segera meluncur jawaban ane, “anda customer penting kami, kami sangat menghormati anda, mestinya kami yang meminta maaf dan kami benar-benar kawatir kehilangan anda”.
Beliau tersenyum lalu berkata,”mohon maaf, mohon maaf, bukan itu, tapi saya benar-benar serius dengan permohonan saya itu”. Ups...ada apa ini..? Tapi okelah, tentu saja saya langsung meng ‘iya’ kan permohonan beliau.

Diwaktu dan tempat yang lain, ane sempat mengantarkan kawan ke desa di kaki gunung Kawi. Disana ane bertemu dengan seorang tetua yang kami tuju. Sambutan Pak Tetua sangat ramah. Ane dan kawan ane langsung dipersilahkan untuk makan terlebih dahulu. Hidangan makan telah disediakan, nasi lengkap dengan sayur dan lauk pauknya. Ane agak heran juga, namun menurut kawan ane, begitulah tradisinya.
Pak Tetua itu baru berkenan menemui kembali setelah ane dan kawan ane selesai makan. Kemudian kawan ane menyelesaikan urusannya dengan Pak Tetua. Selesai urusan, kami minta pamit untuk meneruskan perjalanan kembali. Pak Tetua mempersilahkan dan menyalami kawan ane sambil meminta maaf. Giliran bersalaman dengan ane, Pak Tetua juga meminta maaf kepada ane. Lah...kenapa beliau minta maaf ke ane segala? Ane kenal beliau saja baru sekali itu. Malah ane rasa Pak Tetua orangnya terlalu baik dan sangat menghargai tamunya. Apa salah beliau hingga minta maaf? Mungkin lagi-lagi itu sekedar tradisi atau kebiasaan beliau saja. Nggak tahu sih. Ane pun akhirnya cuma tiru-tiru beliau saja, meminta maaf balik lalu mengucapkan salam dan pamit.

Permintaan maaf dalam pikiran ane pasti ada hubungannya dengan kesalahan. Kesalahan mungkin bisa saja disengaja tapi mungkin juga tidak. Kesalahan bisa saja nampak tapi mungkin saja tersembunyi. Bagi orang yang berhati-hati untuk tidak meninggalkan salah, maka permintaan maaf merupakan jalan keluar.

Tapi ane jadi ragu dengan maksud permintaan maaf. Masih banyak lagi orang yang ane jumpai dengan permintaan maaf meskipun justru saat mereka memberikan sesuatu atau membantu. Bahkan permintaan maaf dari orang yang baru saja kenal. Apakah benar maaf di ucapkan hanya untuk upaya menghapus kesalahan?

Hingga pada bulan Syawal kemarin ane bersilaturahmi kepada salah seorang Guru Spiritual di Surabaya, ane mendapatkan pengertian tambahan tentang permintaan maaf. Beliau menerangkan bahwa pada umumnya setiap orang punya pengharapan. Saat kita bertemu dengan orang lain pun, kita punya pengharapan kepada orang itu, demikian juga sebaliknya. Satu contoh, bila seorang murid bertemu dengan guru, murid mengharapkan sesuatu kepada guru misalnya mendapatkan ilmu yang diharapkan. Guru akan meminta maaf kepada murid bila pengharapan murid tidak terpenuhi sebagian atau keseluruhan karena satu dan lain hal. Maaf bukan sekedar karena kesalahan, maka saling meminta maaf dan memaafkan lah.


Terima kasih Guru, ane juga mohon maaf ya...mohon maaf juga untuk semua pembaca...

02/11/07

Pemiliknya lebih tahu

Beberapa hari ini Brodin menjadi bahan omongan beberapa orang-orang dikampung. Orang-orang itu biasa ngobrol dipinggir jalan yang dilalui Brodin pergi ke pasar dan juga saat pulang dari pasar.

Seperti hari-hari sebelumnya, pagi itu Brodin pergi kepasar untuk menjual barang dagangannya sekaligus belanja barang-barang untuk keperluannya. Brodin kepasar dengan menunggang keledainya yang kecil dan kurus. Keledai itu berjalan cukup pelan dan nampak susah payah dengan beban dipunggungnya. Namun Brodin seolah tidak memperdulikan itu dan terus menunggang keledainya sampai tujuan.

Orang-orang yang biasa ngobrol dipinggir jalan nampak mulai menggunjing Brodin yang sedang lewat didepannya. Salah satu dari mereka menegur Brodin, ”Din keledaimu perlu kamu kasihani tuh, keberatan membawamu”. Yang lain menimpali, ”biasanya kamu kepasar jalan kaki, tapi semenjak kamu punya keledai, kamu semakin nampak tolol”. Masih banyak lagi olok-olok lainnya yang mereka lontarkan kepada Brodin.

Melihat dan mendengarkan orang-orang yang mengolok-oloknya itu, Brodin hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Sementara itu Brodin tetap saja menunggangi keledainya itu sampai ke pasar yang dituju.

Selesai dengan urusannya dipasar, seperti biasa Brodin pulang dengan membawa beberapa barang keperluannya. Dalam perjalan pulang, Brodin melalui jalan yang sama dengan jalan yang dilaluinya tadi waktu berangkat ke pasar.

Kali ini yang nampak susah payah berjalan dengan beban berat dipunggungnya adalah Brodin. Peluhnya membasahi muka dan sebagian bajunya. Brodin berjalan pulang dari pasar dengan memanggul keledai dan barang-barang bawaannya.

Orang-orang di pinggir jalan yang suka menggunjingnya mulai mengolok-ngolok saat Brodin lewat didepannya. ”Din, apa gunanya kamu punya keledai?” Yang lainnya ada yang menyindir, ”itulah gunanya keledai mempunyai majikan”. Masih banyak lagi cemooh dan sindiran yang mereka lontarkan kepada Brodin.

Melihat orang-orang itu dengan segala cemooh dan perkataan mereka, Brodin hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada mereka. Brodin terus saja meneruskan perjalanannya pulang ke rumah dengan tetap memanggul keledai dan barang-barang bawaannya itu.

Kejadian seperti itu telah terjadi beberapa minggu. Selama itu pula Brodin menerima cemooh, olok-olok maupun sindiran dari orang-orang dipinggir jalan itu. Hingga, sampailah keesokan harinya Brodin tidak kepasar tapi pergi untuk mengundang orang-orang yang biasa ditemuinya itu.

Malam harinya pada waktu yang telah ditentukan, orang-orang yang diundang oleh Brodin, telah datang ke rumah Brodin. Ternyata, Brodin mengundang mereka untuk makan bersama.

Setelah Brodin menjelaskan maksud acara makan bersama tersebut untuk bersyukur, tanpa bisa menolak, akhirnya orang-orang yang telah diundang oleh Brodin, makan bersama.

Sebelum orang-orang beranjak dari tempat masing-masing seusai makan, seorang diantara mereka berbasa-basi bertanya, ”mana keledai kurus yang malang punyamu itu Din?”. Mendengar pertanyaan itu, hampir semua yang hadir tertawa.

Dengan tenang Brodin bercerita, ”yah, keledai saya itu adalah harta paling mahal dari semua yang aku miliki. Keledai saya itu memang baik, tak pernah rewel atau protes. Namun bagaimanapun juga, saya sebagai pemiliknya lebih tahu kondisinya. Saya tahu kapan dia harus membantu saya, kapan pula saya membantu atau merawatnya. Saya pula yang tahu kapan saya membutuhkan dagingnya. Diapun pasrah ketika tadi pagi saya mengorbankannya untuk hidangan makan bersama kita tadi. Mohon maaf, adakah dari tuan-tuan yang ingin protes atas kejadian ini?”

Tidak sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka kecuali kata terima kasih dan salam pamit pulang.

29/10/07

Takut kehilangan uang

Setelah beberapa minggu Brodin bebepergian ke kota, kini Brodin sudah kembali ke kampung halamannya. Pak Erte dan tetangga sempat kawatir dengan keadaan Brodin saat dia di kota. Namun mereka sekarang cukup lega setelah tahu Brodin telah kembali dengan selamat.

Merasa lama tidak bertemu, pagi itu Pak Erte bertandang ke rumah Brodin untuk sekedar ngobrol seperti biasanya dengan Brodin. Ketika itu Brodin sedang duduk di teras rumahnya yang sangat sederhana itu. Setelah menyampaikan salam dan disahut salam pula, Pak Erte menghampiri Brodin lalu duduk didekatnya.

”Apa Din yang kamu bawa dari kota” tanya Pak Erte. ”Saya tidak membawa apa-apa kecuali ini”, sahut Brodin sambil menunjukkan sebuah kartu kredit.

”Apa itu Din?” tanya Pak Erte yang belum pernah melihat kartu kredit sebelumnya. ”Ini namanya kartu kredit”, jawab Brodin dengan mantap.

”Untuk apa itu Din?” tanya Pak Erte tambah penasaran. Brodin lantas berusaha menjelaskan,”kartu kredit ini fungsinya sebagai pengganti uang. Kalau mau beli sesuatu, tinggal menyerahkan kartu kredit ini untuk digesek-gesek oleh penjualnya, lalu penjualnya akan memberikan kembali kartu kredit ini sekaligus menyerahkan barang yang dibeli. Jadi pembelinya tidak usah membawa uang. Enak kan Pak Erte?”

”Bagaimana kamu tahu itu semua Din?” tanya Pak Erte. ”Saya sudah melihatnya sendiri di pertokoan-pertokoan. Para wanita dan pria di kota menggunakan kartu kredit seperti ini. Saya sempat penasaran. Kemudian saya tanyakan pada salah satu dari mereka dan seseorang yang baik hati menjelaskan kepada saya seperti itu”, terang Brodin kepada Pak Erte.

”Ohhh..begitu. Wah enak ya, tidak pakai uang tapi masih bisa membeli”, komentar Pak Erte. ”Kamu sekarang enak ya, punya kartu kredit bisa untuk beli apa saja. Tapi…apa kartu itu juga bisa dipakai untuk membeli di desa ini Din?” tanya Pak Erte. ”Para penjual dan orang-orang di desa ini kan tidak ada yang kenal kartu begituan Din”, sambungnya lagi.

”Oh….bukan…, bukan itu maksud saya dengan membawa kartu ini”, kata Brodin. ”Lantas untuk apa Din?” tanya Pak Erte yang nampak semakin penasaran.

”Saya hanya ingin tidak usah membawa uang dan dengan demikian saya tidak usah kawatir kehilangan uang”, tukas Brodin.

”Wah…apa sekarang kamu berubah kaya dan punya banyak uang Din?” tanya Pak Erte.

”Justru itulah masalahnya, saya punya penyakit takut kehilangan uang, padahal sebenarnya saya tidak punya uang”, sahut Brodin.
”Lalu, dari mana kamu mendapat kartu kredit itu Din?” tanya Pak Erte. ”Waktu dikota, saya menemukannya di bak sampah”, jawab Brodin.

23/10/07

Nyawa di gigi

Sudah capek, jauh-jauh Brodin datang dari desa sangat terpencil, akhirnya sampai juga ke kota untuk berobat giginya yang sakit.

Brodin terlihat sangat sedih ketika dokter gigi bilang, "ini sudah terlalu parah......., gigi bapak harus dicabut.......mau ya pak?"

"Kalau memang sudah waktunya, saya cuma pasrah menerima saja dok, tapi tolong beri kesempatan saya untuk menulis surat wasiat dulu".

"Lho...kok nulis surat wasiat segala.....kayak orang mau meninggal...??!!", tanya dokter gigi keheranan.

Dengan sedikit terbata Brodin berkata, "Dokter......maafkan saya ini ndak tamat sekolah....maklum saja kalau sampai sekarang saya masih belum tahu dimana Tuhan meletakkan nyawa saya.........saya takut Tuhan meletakkan nyawa saya pada gigi saya.....sehingga kalau dokter mencabutnya.....nyawa saya akan ikut tercabut.." Air mata Brodin pun mulai meleleh dipipinya.

Dokter gigi tersenyum dan mencoba bercanda untuk menghiburnya, "Ah..pak Brodin ini bisa-bisa saja......tenang saja pak......masih jauh dari nyawa kok.."

Mendengar itu Brodin malah lebih serius mimik mukanya, "Tidak bisa Dok, saya serius ini......saya hanya mau dicabut gigi saya setelah menuliskan wasiat saya...".

"Tenang saja pak.....saya sudah pengalaman puluhan tahun kok...., belum ada pasien saya yang nyawanya melayang karena saya cabut giginya. Nanti saya buktikan deh....setelah gigi bapak saya cabut, bapak akan baik-baik saja.....", kata Dokter gigi sambil tetap tersenyum dengan tenang.

Brodin terdiam sejenak.........lalu berkata, "begini saja Dokter, berikan saya dua pilihan..........., yang pertama saya saja yang mencabut gigi Dokter dan saya yakin nyawa Dokter juga terletak di gigi Dokter.....atau pilihan kedua.....Dokter tunjukkan dimana Tuhan meletakkan nyawa manusia.......gimana?"

Dokter gigi jadi terbengong, "bee...#$%&(*&^%$."

09/10/07

Keris kenang-kenangan

Atasan ane yang orang Scandinavia itu tiba-tiba datang ke ane. Ehh..ternyata bukan soal kerjaan yang dibicarakan sama beliau. Beliau malah bicara soal keris…Ini bule kok malah ngomong soal keris?

Ternyata beliau bermaksud memberikan kenang-kenangan untuk rekannya yang juga orang Scandinavia. Beliau sih cuma pengen memberikan sesuatu yang khas dari jawa dan dia pilih keris. Itu saja sih.

Ane bilang sama beliau, ”bagus itu”. Tapi bukan komentar itu yang beliau inginkan dari ane. ”Aku yakin pilihanku memberi keris sangat bagus untuk teman aku itu, tapi aku kawatir tidak tahu harus ngomong apa soal keris kepada temanku itu, boleh beri aku sedikit alasan”, pinta beliau kepada ane.

Waah..pikir ane, ane nih bukan asli bener orang jawa. Darah ane separo jawa, seperempat madura, seperempatnya lagi sunda. Ane tinggal di jawa timur dan ndak pernah mengoleksi keris. Melihat ane agak bengong, lalu beliau bilang, “kamu kan kenal keris lebih lama dari pada aku, ayolah cerita sedikit, nggak benerpun nggak apa-apa”, pintanya lagi.

Gimana yah…ok lah, ane jawab sekenanya aja. “Bilang aja sama temenmu itu, kalau seandainya orang jawa bisa bikin bom, kamu mesti aku hadiahi bom dari jawa. Tapi orang jawa bisa bikin keris, makanya aku kasih saja kamu keris dari jawa”. Mendengar itu, beliau tersenyum,” bener juga kamu’, kata beliau kepada ane.

”Terus…?” tanya beliau lagi. Ane jawab aja, ”ya..keris itu apa sih? Masak keris mau dipakai perang? Keris itu sudah kuno, dari jaman kerajaan-kerajaan di jawa dulu. Keris itu hanya simbul aja bagi orang jawa. Keris itu kan terdiri dari isi dan kerangka. Isi itu simbul dari jiwa, kerangka itu simbul dari badan. Isi itu simbul pengetahuan kebenaran atau kebenaran pengetahuan sedangkan kerangka itu simbul dari aturan-aturan dan etika atau keindahan. Kalau cuma isi saja tanpa kerangka itu bisa berbahaya dan dapat membuat celaka bahkan kematian bagi orang lain maupun diri sendiri. Kalau hanya kerangka, biarpun indah namun tanpa makna dan keris itu sendiri mati. Sebagai simbul, seorang pemimpin membawa keris. Kalau sekarang keris itu telah berubah menjadi tongkat komando ditangan komandan militer. Cuma tongkat komando sekarang tanpa kerangka. Yah..semoga saja tidak membuat celaka….hehehe. Tapi kalau seorang komandan militer menenteng-nenteng keris khan juga lucu jadinya.
Atasan ane agak manggut-manggut. ”Ooo begitu yah….bagus, menarik untuk diceritakan kepada temanku nanti’, kata beliau. ”Yah…kira-kira seperti itu sih yang pernah saya denger”, sahut ane. ”Tapi banyak orang di jawa yang sangat menghormati keris, bahkan ada upacara-upacaranya segala termasuk memandikan keris. Aku lihat itu di tv, kenapa pula kok dimandikan segala ya?”, sambung beliau. ”Yah…mandi biar bersih, jiwa juga perlu dibersihkan”, jawab ane, sekenanya saja sih. ”Kamu juga menghormati keris seperti itu?” tanya beliau lagi. Ane jawab singkat aja….”You know that I am a muslim”.

26/09/07

Cinta bekerja

Ketika aku tanyakan kepada beberapa orang tentang cinta, hampir semua jawaban yang aku dapatkan adalah tentang perasaan. Sebagian malah menjawab, cinta itu ’gombal’…. he he he.

Lohh…kok tiba-tiba ngomong cinta..? Apa lagi punya masalah cinta atau lagi puber kedua…? Ahh…nggak kok, hanya sekedar cerita saja.

Dulu pernah ketemu dan sempat ngobrol dengan seorang bapak tua penjual makanan yang sehari-harinya mulai sore sampai malam berjualan di alun-alun dan baru pulang kerumah saat larut malam, kadang malah jualan sampai dini hari. Esok pagi dan siang harinya sudah menunggu pekerjaan rumah yang seolah tak kunjung habis. Istrinya juga tak kalah report membuat makanan yang akan dijual dan membereskan pekerjaan lainnya. Seolah tidak ada jeda bagi mereka untuk sekedar cerita tentang cinta. Apakah mereka yang sudah menjadi suami istri selama puluhan tahun masih punya rasa saling cinta?

Gak mau menggosipkan bapak tua penjual makanan ah….cuma tanya, apaan sih cinta itu….???

Mulai beberapa hari yang lalu anakku terserang cacar air dan cukup parah. Sementara tenggorokannya juga mengalami infeksi sehingga sangat menyulitkannya untuk makan. Konsentrasi istriku tertuju pada anakku. Dengan telaten istriku merawatnya. Sesekali aku membantu menggantikan istri untuk merawat atau sekedar menunggui anakku.

Beberapa hari kemudian aku juga kena cacar air, mungkin ketularan dari anakku. Hanya beberapa titik saja, jauh lebih ringan dari cacar yang diderita anakku. Waah…sudah bapak-bapak kok masih bisa terserang cacar, padahal dulu juga pernah terserang cacar?? Ternyata dalam sebuah artikel disebutkan bahwa imunisasi tidak hanya untuk balita tapi juga perlu tiap kurun waktu 10 tahun sekali imunisasi untuk orang dewasa termasuk untuk penyakit cacar air. Untung istriku tidak ikut ketularan meskipun dia jauh lebih sering bersentuhan langsung dengan anakku.

Tadi bicara cinta….lha kok jadi nggedabrus soal cacar air…??? Apa hubungannya…?? Hubungannya mungkin ndak ada! Weleehh…heheheee.

Hanya saja ada yang aku kagumi saat istriku merawat anakku . Kekuatan apa yang membuat dia melakukannya sepenuh hati tanpa ragu sedikitpun..?? Apalagi sih kalau bukan kekuatan Cinta..?? Meskipun saat-saat itu istriku tidak mengungkapkan perasaan cintanya, namun aku telah melihat cinta kasih sedang bekerja!!


Cinta bukan lagi sekedar kata sifat namun cinta telah berubah menjadi kata kerja. Cinta bukan lagi sekedar soal rasa, namun cinta telah bekerja, bergerak dan membuahkan sesuatu yang berarti. Yang aku lihat adalah setitik demo kecil yang luar biasa dari keseluruhan karya Cinta dari Sang Maha Cinta…Maha Penggerak alam semesta dan seluruh isinya. Alam semesta jatuh cinta!

Duh Gusti, sungguh luar biasa Cinta Mu….Engkau selalu mengajarkan cara bercinta yang bukan sekedar rasa….namun cinta itu adalah kerja…..cinta itu adalah usaha….
Lantas kalau menengok diri sendiri, apa saja yang telah aku kerjakan..?? Sudah pantaskah semua gerak, kerja atau usaha dariku sebagai tanda cinta kepada Mu?

14/08/07

Boleh Sakit

Pusing kepalaku ini..!!
Matakupun memerah…mukaku gerah
Hidungku buntu…mulai berair
Mulutku terasa kering dan bersin-bersin
Badanku meriang dan lesu
Sekujur badanku ini terserang flu..!!

Iya..badanku sakit….badanku sakit
Tak ceria…
Tak produktif….
Tak sehat…..
Tak sedap dipandang mata…
Hahahaa….boleh, orang bilang aku malas..
Memang…badanku sakit dan malas..

Badanku yang sakit dipenuhi virus
Virus-virus pengkorupsi darah
Virus-virus perusak system pertahanan
Hebat….virus sekarang sudah modern
Tidak mempan dengan beras dan kencur
Tidak mati dengan jeruk dan kunir

Tapi..badanku yang sakit perlu obat…
Mungkin obat yang pahit..atau yang getir
Hahahaa…tentu saja dijaman sekarang…
Obat mahal..!!
Apa mau dikata, asal halal…..

Masih untung obat tidak gratis…
Bila ki demang menanggung biaya obat
Akut takut….akan ada larangan baru…
Dilarang sakit..!!
Seperti tragedi peraturan…
Dilarang ngemis…!!
Sedang orang miskin dan anak terlantar

Sudah ada yang nanggung..

Syukurlah…..
Aku masih…..merdekaaa..!!
Boleh sakit semau kapanpun…

Badanku sakit…..dan ingin ku sembuhkan…
Bila saatnya, kan ku telan rasa pahit getir pil
Lawan saja virus-virus penyakit
Biar sembuh…biar dapat turut serta..
Melihat parade hari kemerdekaan
Mengucapkan kepada bangsa dan negaraku

Selamat HUT Kemerdekaan

30/07/07

kembang-kembang: Bendera Merah Putih

kembang-kembang: Bendera Merah Putih

Bendera Merah Putih

Hari minggu kemarin sempat jalan-jalan di mall terbesar di daerah elite, Surabaya Barat. Mallnya dari semenjak berdiri sampai sekarang tetap kelihatan megah. Bahkan disekelilingnya tampak lebih bergeliat dengan dibangunnya pertokoan dan gedung-gedung apartemen yang meskipun belum selesai pembangunannya namun sudah kelihatan bakal menjadi bangunan mewah.

Di mall itu awak sempat mampir di toko buku besar dan ternama yang sampingnya dipakai tempat peribadatan. Teringat sebentar lagi dibulan Agustus negeri ini akan memperingati hari kemerdekaannya, ingin pula mengenangnya dengan membeli bendera merah putih ukuran kecil untuk pajangan di meja kerja kantor.

Tengok sana-sani, tidak kelihatan bendera merah-putih, malah awak jadi lirikan beberapa satpam dan penjaga toko buku itu. Akhirnya…….nyerah, tanya saja pada penjaga toko buku itu.

”Ada bendera merah putih tidak…??”

Tiga orang penjaga yang kebetulan sedang bergerombol itu agak celinguan dan hampir serempak mereka menjawab, ”bendera merah putih..?? bendera tidak ada pak…”

”Bee…” terlontar kata itu dari mulut awak dan tercenung sejenak lah awak ini……di negeri manakah awak ini sebenarnya berada..? Jangan-jangan awak ini lagi salah masuk negeri orang lain.

“Waahh…..toko buku semewah ini tidak menjual bendera merah putih…??!! Tidak nasionalis kalian ini..!!” komentar awak kepada para penjaga toko buku itu. Mereka Cuma cengengesan saja.

Sepertinya toko buku besar lainnya entah itu satu group dengan toko buku di mall yang awak kunjungi kemarin maupun lainnya tidak menyediakan bendera. Di toko buku besar yang ada di Sidoarjo juga tidak jual…..ala maaak……alamat apa ini.
Apakah pengusaha di mall-mall sudah tidak kenal atau lupa dengan bendera negeri tempat berpijak kaki mereka, atau pengunjung-pungunjung mall yang sudah tidak butuh bendera lagi?

Bendera negeri ini ternyata hanya terjual di pinggir-pinggir jalan dan pingir kali…..
Karena dijual dipinggir jalan dan di pinggir kali, yang jual maupun yang beli bisa ditebak lah……paling-paling ya kelas masyarakat pinggiran. Awak sadar diri, awak akan beli saja bendera di pinggir jalan….karena awak pastilah termasuk salah satu anggota masyarakat pinggiran. Sedih sekali lah awak ini….awak ini yang kelas pinggiran dan yang masih mengakui merah putih merasa tersesat di negeri asing bila masuk di mall-mall bahkan juga di kantoran-kantoran. Yang awak temui di sana malah banyak bendera dan merk-merk asing berkibar.

Punya siapa sebenarnya negeri ini…???

27/07/07

Ikhlas tingkat lanjutan

Di sela waktu break sebuah acara seminar di salah satu hotel, saya pergi ke toilet. Ternyata toilet sudah penuh, pintunya tertutup semua. Terpaksa menunggu. Untungnya tidak sampai satu menit menunggu salah satu pintu toilet terbuka dan keluarlah seseorang yang ternyata juga sama-sama peserta seminar dari perusahaan lain tapi saya sudah mengenalnya cukup lama.
“Loh pak sampeyan..? Sudah selesai..? Tanya saya.

“Sudah pak, silahkan pak…” dia mempersilahkan saya masuk toilet sementara dia menuju ke tempat cuci tangan yang terletak hanya tiga langkah, pas di depan toilet.

Saya bergegas menuju toilet namun begitu sampai di pintunya…ala maak….(maaf ya) baunya yang tidak sedap itu lho…..langsung menusuk hidung. Saya lihat didalam toilet sih bersih tidak ada bekas air, di tempat duduk closet juga kelihatan kering. Tidak seperti kebiasaan toilet ’basah’ pada umumnya di Indonesia yang habis dipakai mesti terdapat ceceran air. Ini, toilet habis dipakai bersih…., ya tapi baunya itu…membuat saya hampir tidak tahan. Mau balik sungkan juga sama teman saya tadi yang habis memakainya.

Tiba-tiba saya punya akal-akalan untuk mengulur waktu masuk toilet. Saya berhenti didepan toilet lalu basa-basi bercanda dengan teman saya tadi, “eh..kok bersih toiletnya nggak ada bekas airnya…tadi emangnya ngapain aja di dalam toilet?”

Dia melihat saya melalui kaca didepannya sambil tetap mencuci tangannya. Sambil tersenyum dia berkata, “sudah saya bersihkan kok, tinggal pakai saja”.

“Waah baik sekali sampeyan pak…mau repot-repot membersihkan”, saya mencoba mencari omongan. “Hebat juga sampeyan, bisa gak dibutuhkan lagi tuh pegawai cleaning service hotel kalau semua orang kayak sampeyan”.

“Biasa aja….nggak urusan juga sama cleaning service…sekedar urusan pribadi saya sama yang yang diatas saja”. Wah..jawabnya religi juga nih.. “Saya duluan ya pak,” sambungnya sambil berbalik badan kearah ke saya. “Ya pak…” jawab saya singkat. Dia pun pergi meninggalkan saya.

Didalam toilet, saya teringat guyonan tentang ’ikhlas’. Ada yang pernah mencoba menjelaskan ikhlas itu dengan guyonan…(maaf lagi ya), ikhlas itu seperti orang buang hajat. Rasanya ploong setelah melakukannya dan tidak menginginkan kembali dari apa yang telah dikeluarkan. Itulah ikhlas.

Waah..saya jadi tersenyum sendiri dan merasa apa yang dilakukan teman saya tadi berarti malah bukan sekedar buang hajat namun itu adalah ikhlas tingkat lanjutan. Setelah memakai toilet untuk buang hajat, dia membersihkan toilet tanpa ada pamrih dan hasilnya bukan untuk dirinya tapi untuk siapa saja.

Mungkin itu juga merupakan bentuk disiplin pribadi yang benar-benar keluar dari dalam. Ohh…mungkin, itulah kenapa membersihkan toilet merupakan salah satu bentuk hukuman yang popular. Di sekolah, pesantren, kuil shaolin hehe..(di film sih..) bahkan di militerpun hukuman ini sangat populer dikenakan kepada anggota yang melanggar disiplin (yang ringan tentunya).

Membersihkan toilet bisa dianggap pekerjaan ringan dan sepele, namun dapat pula seseorang belajar berdisplin diri dari cara itu. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai pekerjaan yang menjijikkan, hina atau rendah. Namun ”kehinaan” dan ”kerendahan” itu pula yang merupakan bentuk penghambaan sehingga bagi hamba sejati pekerjaan itu sebenarnya adalah kemuliaan dan menjadikannya sebagai urusan pribadi antara dia dan Tuhannya.

Waah…gak bisa diremehkan nih, pekerjaan cleaning service….

18/07/07

Anneurysm

Jam enam pagi istri saya menerima telepon…, ”yaa..betul…yaa…kenapa?!…yaa..yaa…begitu ya….yaa..yaa….terima-kasih..bu..terima kasih segera kami kesana”, braak…telepon ditutup. Saya agak curiga, “ada apa ma..??” Dengan agak tergopoh istri saya menerangkan, “itu tadi telepon dari rumah sakit di Bandung, mas Kadafi masuk rumah sakit..kata ibu tadi di telepon…mas Kadafi koma….sekarang juga kita mesti kesana….”

Kontan saja suasana pagi di rumah langsung menegang. Mas Kadafi itu kakak sulung saya. Dia bekerja di salah satu perusahaan BUMN dan kira-kira tiga bulan lalu dia mendapatkan tugas kerja di Bandung setelah sekian lama bekerja di Makasar. Karena baru pindah ke Bandung, istri dan tiga anaknya yang masih kecil-kecil sementara masih tinggal di rumahnya di Sidoarjo. Di Bandung praktis tidak ada sanak keluarga. Tak ayal kehadiran kami sangatlah ditunggu oleh pihak rumah sakit untuk konfirmasi tindakan medis yang diperlukan.

Pagi itu saya dan istri mendampingi istri kakak saya menuju Bandung. Sayangnya pesawat dari Surabaya ke Bandung hanya berangkat sekitar jam tiga sore, terlalu lama. Kami putuskan untuk naik pesawat ke Jakarta dan kemudian naik bis untuk meneruskan perjalanan dari Jakarta ke Bandung.

Sampai dirumah sakit, ada beberapa orang yang menyambut kami dan mengaku teman kerja kakak saya. Mereka berusaha menjelaskan apa yang terjadi dan sesekali berusaha menghibur kami. Keterangan sementara yang kami dengar dari teman kakak saya, mas Kadafi sekarang masih koma, mengalami pendarahan otak dan dirawat diruang stroke unit. Beberapa saat kemudian seorang suster meminta hanya dua orang dari pihak keluarga untuk menemui dokter yang menangani kasus kakak saya. Saya dan istri kakak saya yang menemui dokter.

Namanya dokter WD, beliau dengan tenang menjelaskan apa yang sedang dialami kakak saya. Gambar-gambar dari hasil CT-scan ditunjukkan oleh beliau. Gambar tengkorak kepala kakak saya banyak dipenuhi oleh warna putih yang menurut dokter, warna putih menandakan keberadaan darah disana. Jadi benar, kakak saya mengalami pendarahan otak. Kenapa itu bisa terjadi pada kakak saya? tanya saya. Dokter menunjukkan gambar-gambar pembuluh darah berwarna dan menjelaskan bahwa ada salah satu bagian pembuluh darah di otak kakak saya yang mulanya mengalami penggelembungan dan ini merupakan suatu kelainan yang sangat mungkin karena faktor bawaan atau sudah ada sejak lahir. Kelainan ini merupakan penyakit yang didunia medis menurut Dokter WD disebut dengan Anneurysm.

Menurut dokter, kemungkinan orang mengalami kasus ini sekitar empat persen dari jumlah kelahiran yang ada. Penggelembungan itu akan terus membesar namun lambat. Pada kasus serupa umumnya penggelembungan baru akan mencapai titik puncaknya hingga mengalami pecah saat usia penderita mencapai 55 tahun keatas. Sedangkan kasus pada kakak saya terjadi 10 tahun lebih awal dari umumnya.

Apa sekarang yang mesti dilakukan? Dokter menjelaskan bahwa sekarang pendarahan sudah terhenti secara alami. Bila dibiarkan resiko yang paling besar kemungkinan otak yang 60% jaringannya tersusun dari lemak akan merespon keberadaan darah yang sudah terlanjur ’mencemari’ otak sebagai benda asing atau toxin. 99% kemungkinan secara alami otak akan mengkerut dan bisa berakibat kemunduran daya ingat secara drastis ingat serta terganggunya system syaraf seiring dengan percepatan rusaknya sel otak sekaligus percepatan proses penuaan dan bahkan lebih fatal bisa mengancam keselamatan jiwa. Hal yang sangat riskan adalah bekas dinding pembuluh darah yang pecah masih sangat rawan untuk terjadi pecah ulang.

Ada peluang lain yang lebih bisa diharapkan yaitu penanganan pembedahan dengan kemungkinan berhasil adalah 50-50. Dokter hanya memberi kami waktu malam itu juga untuk membuat keputusan karena menurut dokter lebih dari dua hari tanpa penanganan pembedahan sudah cukup membawa fatal. Kami pun sepakat untuk mengambil pilihan ini, tentunya dengan resiko biaya yang sangat mahal menurut ukuran kami. Sekenario pembedahan dilakukan, pertama untuk mengeluarkan darah yang telah mencemari otak kemudian selanjutnya untuk proses penjepitan dinding pembuluh darah yang pecah untuk menghindari terjadinya pecah ulang.

Peristiwa itu terjadi sekitar 2 bulan lalu dan puji syukur kepada Tuhan, operasi berjalan lancar dan proses pemulihan kesehatan termasuk pemulihan ingatan berjalan dengan baik sekali. Ibu saya banyak berdoa memohon kesembuhan. Saudara dan teman kami pun saling mendoakan dan memberikan dukungan. Terima kasih yang sangat dalam.

Sekarang kakak saya sudah mulai bisa bekerja lagi meskipun masih dalam pengawasan dokter secara intensif. Menurut dokter, faktor usia yang relative masih muda mendukung proses penyembuhan yang lebih cepat. Resiko yang masih menghantui sekarang adalah, respon otak terhadap penjepit yang telah dipasang bisa mengakibatkan produksi cairan otak yang berlebih, umumnya disebut Hydrocepalhus. Bila ini terjadi, perlu pembedahan ke dua untuk menanganinya.
Sungguh, ini semua menjadi ujian sekaligus pembelajaran yang sangat berarti bagi kami untuk lebih mengenal diri kita dan lebih mendekat kepadaNya. Terima kasih Tuhan.

16/07/07

Layak

Suatu ketika anak saya yang sedang belajar bahasa Indonesia, dia bertanya kepada saya soal antonim atau lawan kata dari beberapa kata yang dia sebutkan. Semua pertanyaan tentunya dengan mudah saya jawab seperti misalnya antonim dari pergi adalah datang, antonim dari encer adalah pekat, antonim dari cekatan adalah lamban, dan sebagainya.
Namun ada satu pertanyaan yang membuat saya harus mengakui bahwa saya tidak jago dalam berbahasa Indonesia. Pada saat dia bertanya, “layak itu apa sih pa?” Masih bisa saya jawab, “layak kata lainnya adalah pantas”. Kemudian dia lanjut bertanya, “kalau lawan katanya layak apa pa?” Weleeh…..apa yaa? Lalu saya angkat tangan…., takluk!

Lawan kata dari layak tentunya tidak layak, tapi apa sebutan untuk sesuatu yang tidak layak? Memangnya adakah sesuatu yang tidak layak?

Untuk menentukan layak atau tidak layak, mungkin akan lebih mudah dengan menggunakan ukuran parameter atau nilai tertentu. Namun ukuran-ukuran tersebut bisa berbeda-beda dari setiap kaca mata orang. Umumnya, ukuran yang lebih diakui secara mayoritas yang akan lebih cenderung digunakan. Layak cenderung berarti hal yang dinilai positif dan sebaliknya tidak layak bila dinilai negatif. Akan tetapi, penggunaan ukuran tersebut lebih berbicara tentang kesepakatan dan sebaliknya menurut saya malah cenderung mengaburkan pemahaman tentang layak yang sebenarnya.

Mungkin suatu waktu nanti saya akan mengatakan pada anak saya bahwa kebalikan dari layak adalah angan-angan.

Jadi ingat cerita saya dalam artikel yang berjudul ’Doa yang panjang’. Sewaktu saya dan teman-teman saya mengejek orang yang sedang berlama-lama berdoa, terbersit dalam benak saya, layakkah saya melakukannya? Jawaban yang saya temukan adalah layak!

Tidak perlu bagi saya menggunakan ukuran untuk menentukan layak atau tidak, namun cukup menanyakan mengapa saya dan teman-teman melakukannya. Bukankah setiap kejadian itu hanya merupakan akibat karena sebab. Apa yang telah saya lakukan pastilah ada sebabnya. Sebab apa saya melakukannya karena ternyata saat itu saya adalah seorang pengejek atau pencela, maka layaklah saya mengejek atau mencela. Kalaulah bukan pencela, pastilah tidak mencela. Sebaliknya, orang yang berlama-lama berdoa, dia layak melakukannya karena mungkin dia adalah seorang master pendoa sehingga layaklah dia berdoa panjang.

Ohhh..tidak…ini lebih ngeri lagi, apa penyebab yang paling awal untuk terjadinya sesuatu kalau bukan Sang Maha Pengatur. Bukankah sesuatu hanya terjadi atas ijin dari Sang Maha Pengatur. Sesuatu akan layak terjadi bila dianggap layak terjadi oleh Sang Maha Pengatur. Maka orang yang telah berdoa lama itu telah dianggap layak olehNya untuk bersanding lama denganNya sedangkan saya hanya dianggap layak sebagai pencela. Duh Gusti…ampuni saya ya Gusti…angan-angan saya telah salah dan terlalu lancang menganggap bahwa berdoa panjang itu tidak layak bagi sipendoa itu…..
Terima kasih Gusti telah mengajari saya bahwa semua yang telah terjadi pastilah layak terjadi atas ijinMu. Angan-angan hanya memandang dengan tidak apa adanya tetapi nyatanya tidak nyata terjadi. Sesuatu yang tidak terjadi, tidaklah layak terjadi.

05/07/07

Layak menggerutu

Malam itu kami berlima sepakat untuk makan malam di restoran, di sebuah hotel tempat kami menginap. Jam sudah menunjukkan jam enam malam lewat empat puluh delapan menit ketika kami memasuki loby hotel sepulang dari pabrik tempat kami mengadakan konferensi.
Mungkin kami mempunyai pikiran yang sama, capek dan lapar setelah seharian bersitegang dalam konferensi sehingga tawaran yang begitu banyak nan gemerlapnya kehidupan malam dari sebuah kota Bangkok tidaklah membangkitkan selera untuk berburu pengalaman diluar hotel tempat kami menginap. Yang terbayang dalam pikiran hanyalah makan malam sambil ngobrol lalu istirahat karena besok mungkin tidaklah lebih baik dari keadaan dalam konferensi tadi siang. Kamipun sepakat untuk pesan tempat di restoran Italia yang terletak di sebelah kiri dalam loby hotel.

Didepan pintu restoran sudah ada satu orang pelayan wanita dan satu lagi pelayan pria yang siap menyambut setiap tamu yang datang. Keduanya melemparkan senyum dan mengucapkan salam khas Thailand kepada rombongan kami yang mau melangkah masuk pintu restoran, ”Sawadee, kap kun kaap, kap kun kaa”. Kemudian si pelayan wanita dengan hormatnya memberi tahukan kepada salah satu dari kami untuk memenuhi ketentuan pakaian yang mesti dikenakan bagi pengunjung restoran. Seorang kolega saya itu memang hanya menggunakan kaos oblong meskipun luarnya di tutupi dengan jas, namun tetap saja kaos oblong rupanya tidak diperkenan untuk dipakai bagi pengunjung restoran tersebut. Si pelayan juga mempersilahkan kolega saya melihat semacam papan pengumuman di sebelah kiri pintu masuk. Sepintas saya lirik memang ada gambar kaos oblong dicoret selain gambar sandal dan celana pendek di coret. Perdebatan kecil terjadi namun akhirnya kolega saya mundur untuk mengganti pakaiannya sementara kami akhirnya mendahului dia masuk restoran.

Waah..mau makan aja pakai aturan yang ketat segala….ribet banget sih….
Ternyata tidak hanya seperti dalam film saja, tapi sekarang saya mengalami sendiri. Untung saja bukan saya yang ditolak untuk masuk restoran.

Didalam restoran kami sempat sebentar membahas kejadian tadi. ”Apa sih kata pelayan tadi?”, tanya saya kepada kolega tadi setelah kembali bersama kami dengan pakaiannya yang berkerah. Dia menjawab setengah menggerutu, ”Gak tahulah, itu hanya omong kosong, peraturan yang konyol, dia bilang saya tidak layak masuk restoran dengan kaos oblong”.
Salah satu kolega saya yang lain malah menggodanya, ”John….ini saatnya menggerutu dan kamu layak menggerutu sekarang…hahahaha..”
Mendengar celetukan itu, John tersenyum juga meski kecut, “ok…and you juga layak mendapatkan ini..”, sahut dia seraya melemparkan potongan kecil roti kering kearah kolega saya yang menggoda.
Kamipun semua tertawa….dan sesaat kemudian melupakan kejadian tadi dengan obrolan lain sambil sibuk menyelesaikan santapan malam sampai tidak terasa, dua jam lebih kami telah menghabiskan waktu hanya untuk ngobrol dan makan malam di sebuah restoran Italia…..yah…itu juga berarti dua jam lebih kami telah layak melakukannya…dan nyatanya bersamaan dengan waktu itu kami belum layak meskipun hanya untuk sekedar keluyuran di luar hotel.

26/06/07

Cerita boong di kecamatan Gorong

Hari ini di kecamatan Gorong yang becek penuh lumpur dan bau busuk semakin terasa gonjang-ganjing. Penduduk disana lagi merasa kecewa berat karena merasa diboongi terus-terusan. Siapa sih yang tega-teganya boong? Wuiihh….penduduk setempat hampir menjawab serentak…..”sinuhun ratu yang boong!!!”
Hehehehe……ratu kok boong..?? Gak pantes kan..?!

Walaah…jadi ingat beberapa waktu lalu sempat baca artikel disebuah blog yang namanya ‘g.o.b.l.o.g.i.s.n.o.w.h.e.r.e’ atau kira-kira kalau saya artikan sendiri artinya adalah ‘goblog berarti gak kemana-mana’ atau ‘muter-muter doang’ alias ‘hang’ gitulah mungkin kalau pakai istilah komputernya.

Bukannya promosi nih, tapi artikelnya memang menarik berkesan apa adanya. Salah satu artikelnya berjudul ‘Harus Bisa Berbohong’. Setelah membaca……yah, memang seperti itulah kira-kira adanya di dunia nyata. Salut untuk penulis yang juga sohib saya.

Tapi kalaupun bisa boong……, pantes nggak berboong…?? Seperti cerita sang ratu yang boong kepada penduduk kecamatan Gorong. Gimana ceritanya kok sang ratu boong?

Al kisah kemarin sang ratu berjanji untuk bertandang dan bermalam di kecamatan Gorong tapi nyatanya batal. Acaranya ganti, hari ini rencananya baru singgah namun ehh…ternyata batal lagi. Sebagai ganti sang ratu hanya ‘muter-muter’ atau istilah kumputernya ‘hang’ gitulah di udara kecamatan Gorong nunggang capung besi. Lah…alih-alih mau menghibur hati, sang ratu malah buat sakit hati penduduk setempat dengan ingkar janji. Tambah gonjang-ganjinglah kecamatan Gorong yang sudah setahun lebih gonjang ganjing soal banjir lumpur, penduduknya tambah protes menagih janji.

Ohhh…begitu toh ceritanya…..??
Pantes saja kecamatan Gorong semakin gonjang-ganjing keadaannya, memprotes ratunya yang dianggap memboongi penduduk kecamatan Gorong. Bisa jadi gejala sok sial nih!

Kalau boleh pinjam istilahnya goblog-is-no-where, di kecamatan Gorong ceritanya jadi goblog-is-now-here alias yaa……goblog ya di sini ini…..di cerita kecamatan Gorong. Jadi harap maklum ya…

Bukan bermaksud melecehkan dan menyepelekan siapapun namun ini hanya sekedar cerita kecamatan Gorong yang ternyata semuanya pantes-pantes saja, tidak ada yang tidak pantes. Seorang ratu pun ternyata juga pantes-pantes saja atau mungkin malah layak sekali untuk berboong. Karena ternyata memang ratu kecamatan Gorong itu adalah seorang pemboong. Kalau bukan pemboong pasti tidak boong. Kalau mau berubah tidak jadi pemboong lagi, pasti cepat-cepat tobat minta ampun dan janji tidak mengulangi boong lagi. Kalau masih mengulangi lagi, pasti jadi pemboong lagi.….welehh..capek!

25/06/07

Doa yang panjang

Pada suatu kesempatan saya bersama beberapa orang rekan mampir disebuah warung yang sederhana di desa, sebut saja desa Plaza Jembeng.

Ah lumayan pikir saya, berhenti sejenak melepas penat setelah duduk selama dua jam perjalanan di mobil, nongkrong di warung sambil makan mengisi perut yang mulai keroncongan belum makan malam. Jam sudah menunjukkan angka 8.25 malam waktu kami masuk warung. Langsung saja…saya pesan soto daging sama kopi!

Sambil ngobrol ngomong sana-sini dan nyruput kopi tubruk, saya dan rekan-rekan sekali-kali melongokkan pandangan keluar warung. Pandangan sesekali melihat tempat ibadah yang berada diseberang jalan, tepat didepan warung. Di dalam tempat ibadah kelihatan tenang dan sepi namun lampunya masih menyala terang. Hanya dua orang kelihatan duduk tertunduk, seolah seperti patung. Pemandangan yang biasa saja sih...kalau tidak mau disebut membosankan namun tidak mempengaruhi suasana obrolan makan malam kami di warung yang justru malah semakin seru. Sesekali kami tertawa, sesekali kami sedikit beradu argumen, sesekali kami saling meledek. Obrolan pun sangat acak, mulai soal serbet makan bercorak bintik sampai politik, soal sandal melencong ke soal sepiritual. Namanya obrolan diwarung, mutu gak penting yang penting sok melip, asal jeplak dan ngakak. Lagian gak bakalan ada yang protes. Yang jual juga cuek aja.

Seolah tidak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 9 lewat sepuluh menit. Sudah empat puluh lima menit lama waktu yang kami habiskan untuk ngobrol dan makan malam di warung itu. Habis membayar santapan malam, kamipun beranjak untuk keluar dan meninggalkan warung.

Begitu keluar dari warung, tiba-tiba salah satu rekan saya berkomentar setengah bergurau, ”wuih…banyak amat sih dosanya orang itu, dari tadi masih berdoa saja belum selesai”.

Serentak kami menoleh kearah tempat ibadah di seberang jalan dan benar saja, dua orang masih terlihat tetap duduk diposisinya, sama persis seperti yang waktu tadi saya lihat.

Sejenak kami sepertinya kagum memandanginya namun kemudian seorang rekan lain menimpali komentar rekan saya tadi, ”itu sih orang yang hebat, berani menyuruh tuhan melalui doanya, masak gak tahu sih kalau tuhan itu maha tahu dan sudah mengatur segalanya.”

Salah satu rekan saya malah berceloteh, ”ehh..jangan-jangan orang-orang itu semacam sufi yang tahu apa-apa yang akan terjadi pada dirinya…..dia tahu besok akan dipanggil, makanya sekarang berdoa habis-habisan….”

Akhirnya, kamipun saling melempar senyum, kemudian pergi meneruskan perjalanan.

Bersambung…..

sambungan……. selanjutnya baca tulisan berikutnya dengan judul ’Layak’

30/05/07

Misuh pakai tangan

Seumur-umur, baru kali ini saya mendengar istilah (maaf) ’misuh pakai tangan’.
Pertama kali dengar justru dari anak saya, si anak kelas tiga es de.
’Misuh’ adalah bahasa jawa yang artinya melontarkan kata-kata kotor.

Malam itu anak saya sedang makan bareng bersama tiga orang saudara sepupunya yang kebetulan lagi menginap dirumah. Mereka sebaya.

Agak rame suasana santap malam mereka dengan suara celoteh anak dan saling cerita diantara mereka. Saya dan istri yang lagi duduk tidak jauh dari mereka kurang memperhatikan obrolan mereka sampai suatu ketika anak saya mengatakan pada saudara-saudara sepupunya, ”misuh pakai tangan itu ndak boleh lho…., dosa”.

Begitu mendengar itu dari anak saya, karuan saja saya langsung melebarkan telinga seraya mengarahkan pandangan pada mereka, apa maksudnya??

Ternyata saudara sepupu anak saya juga pada bengong memandang ke arah anak saya. Salah satu dari mereka bertanya, “misuh pakai tangan itu gimana sih…?” Yang lainnya menimpali, “iya…gimana misuh pakai tangan…?”

“Ehh…itu nggak boleh dilakukan…” jawab anak saya.
“Nggak boleh gimana…..?” “Iya……nggak boleh gimana…?? desak yang lain.

Saya perhatikan, anak saya agak kikuk juga, namun akhir dia mau menerangkan juga.
“Walaaah…gini lho……tapi ini gak boleh lho ya…….astagfirullah.. astagfirullah.. astagfirullah.....” kemudian dia mengangkat tangannya hanya sedikit diatas meja, jari tengah diacungkan…”gini ini contohnya….misuh pakai tangan..”

Yang lain mulai mengangguk-angguk. Salah satu berkomentar, ”oohhh jadi…kalau begini (sambil misuh pakai tangan) itu gak boleh ya…”
Yang satu lagi malah membentak…..”husss….ndak boleh gitu, kalau gini (sambil misuh pakai tangan) harus astagfirullah dulu….seperti Dea itu…”.
Si Dea ganti sewot, ”wiss…gak gitu semua……salah kabeh……ruwet...ruwet…”

Geli juga mendengar dan melihat ulah mereka itu, namun sekaligus aneh juga saya rasakan pada diri saya ini. Jangan-jangan ada tingkah laku atau gerak-gerik saya selama ini yang ternyata itu merupakan ’simbol’ misuh atau ’buruk’ atau tak senonoh……..

Mungkin juga waktu saya memberikan atau menjadi contoh sesuatu pada anak saya dengan maksud baik ternyata contoh saya itu merupakan contoh ’buruk’. Padahal setiap perilaku kita itu adalah contoh. Atau sebaliknya bila ada pelajaran atau contoh untuk saya, malah saya menangkapnya salah…….Masih mending anak saya yang lebih pandai dari saya, sebelum memberi contoh, minta ampun dulu….astagfirullah…astagfirullah….astagfirullah…..

29/05/07

Maksudnya apa sih, orisinil....

“Bantuin mengerjakan pe-er KTK, menggambar bebas pa….”

”Lho adik kan bisa menggambar sendiri…”

”Iya…maunya sih gitu..tapi Dea mau gambar apa,…..bingung…nih pa”
“Bantuin dong pa........Papa yang menggambar nanti Dea yang mewarnai aja ya pa…kalau enggak......eeng... papa kasih contoh gambar aja deh......nanti Dea yang niru…”

“Lho itu namanya kan gak orisinil hasil kerja adik sendiri….”

”Orisinil..?? Maksud papa apa sih…orisinil..?”

”Orisinil maksudnya asli…..maksudnya yang menggambar itu asli dari adik sendiri, bukan dari mencontoh atau dibantu yang lain…..”

”Papaaa…pusing papa ini..ruwet, Dea ndak bisa menggambar nih, bantuin kenapa sih pa…ndak usah orisinil, besok dikumpulin nih pa…”

”Ya udah deh….kali ini papa gambarkan…..lain kali gambar sendiri…..”

”Yesss..!! Cepetan ya pa”.

Akhirnya gambar sudah selesai. Sebuah gambar rumah dengan taman bunga. Meskipun tidak bagus tapi lumayan untuk ukuran anak esde, paling tidak anak saya puas dengan gambar itu. Kemudian Dea anak saya pamit untuk tidur, meninggalkan saya sendiri yang masih kepikiran tentang orisinil.

Saya jadi ragu, orisinil…..? Pertanyaan anak saya seolah masih terngiang ditelinga, “maksud papa apa sih…orisinil..?”

Waktu saya menggambar rumah tadi apa benar layak dikatakan orisinil dari saya..??
Lho..padahal saya sendiri khan sekedar mencontoh dari apa yang pernah saya lihat dan tersimpan dalam memori saya. Dulu waktu kecil juga pernah diajari pak de menggambar rumah dan bunga…itu juga terekam dalam memori saya. Bahkan cara memegang potlot saja dulu mencontoh apa yang sudah diajarkan, itu juga terekam dalam memori. Apa yang sudah saya lihat atau saya pelajari semuanya terekam dan mungkin sudah campur aduk ndak karuan. Waktu saya menggambar tadi khan juga dibantu oleh tangan, mata, lampu dan sebagainya. Weleeeh……lantas apanya yang orisinil……???
Tidak….!! Tidak ada yang orisinil dari saya kalau gitu....!! Terlalu sombong bila saya katakan saya berbuat yang orisinil…….oooohh tidaak..!! Ampuni saya……Yang Memberi Kemampuan kepada sayalah yang orisinil…..Yang Punya warnalah yang orisinil menggambar....Yang Memberi contohlah yang orisinil…Yang Mengajari yang orisinil….bukan saya tapi hanya Dia yang ORISINIL.

28/05/07

Sabar apa syukur sih pa...

“Bisa nggak ya pa, Dea ranking 1..???”

“InsyaAllah bisa….makanya rajin belajar dan sabar ya..”, jawab saya.

“Dea semester kemarin masih rangking 4., mesti sabar ya pa, masih dapat rangking 4..?”

“Lho….khan sudah bagus dapat rangking 4……mestinya bersyukur….”, sahut saya.

“Papa gimana sih, tadi disuruh bersabar....terus bilang syukur…?”

“Iya, kalau mau dapat rangking 1 ya bersabar……kalau kemarin sudah dapat rangking 4 ya bersyukur”.

“Jangan mbingungi gitu tah..pa……….sabar apa syukur sih”

“Gini lho….., apapun yang sudah diperoleh…sekarang atau kemarin-kemarin…..kita mesti bersyukur…..soalnya yang telah kita dapat itu adalah yang terbaik bagi kita. Yakin, yang kita peroleh itu adalah yang paling layak buat kita, bila tidak layak bagi kita maka tidak kita dapatkan.

Sedangkan kalau kita menginginkan sesuatu, maka kita harus bersabar, bersabar akan sesuatu yang belum kita dapatkan…...”.

“Lho pa…., kalau lama ndak dapat-dapat yang dinginkan gimana pa..? Dea khan maunya cepet dapat rangking satu…..masak suruh sabar, nunggu terus….capek deh..”

“Lho….sabar itu khan bukan menunggu, bukan apa katanya nanti yang akan terjadi…..bukan berarti yang terjadi biarlah terjadi…..bukan berarti menyerah….

Ingat cerita tikus kecil yang bersabar….tikus kecil bertindak hati-hati, waspada agar tidak diterkam kucing…..artinya juga tikus kecil berusaha untuk mencapai keinginan atau berusaha agar tidak diterkam sama kucing.

Nah, sekarang Dea kepingin rangking 1, makanya harus hati-hati, jangan tergoda untuk main aja dan waspada, jangan sampai males ndak belajar, berusaha dengan keras belajar. Begitulah orang sabar.

Sabar gimana sih pa....

Waktu menjelang tidur malam, anak saya kadang minta dibacakan cerita. Malam itu entah kenapa dia sebelum tidur malah bertanya, “sabar itu gimana sih pa..???

Walah…gimana ya..??
Papa ceritakan kisah anak tikus yang sabar aja ya….


Ceritanya gini;

Ada anak tikus yang setelah seharian main, pulang kerumahnya.

Dirumah anak tikus ditanya sama emaknya, "dari mana saja seharian?"

Anak tikus menjawab, "habis main dengan anak kucing".

"Lho…. kok berani kamu main sama anak kucing?!!", tanya emaknya terheran-heran.

"Untung kamu tidak di caplok sama bapaknya", lanjut emaknya.

"Tidak kok mak, mereka itu kucing yang baik, mereka itu sudah haji".

"Benar begitu, kucing yang sudah naik haji itu baik, tidak mencaplok tikus?" tanya emaknya penasaran.

"Buktinya saya main kesana, sampai sekarangini saya baik-baik saja", sahut anak tikus.

"Baiklah kalau gitu, emak akan bertandang bersilahturrahim kerumah kucing haji itu".

Keluarlah emak tikus untuk bertandang ke rumah kucing.

Begitu kucing melihat emak tikus, langsung disergapnya emak tikus dan disantap bareng-bareng oleh satu keluarga kucing.

Anak tikus yang mengetahui hal itu, dia baru sadar bahwa ternyata dirinya dibiarkan hidup dan bermain dengan anak kucing, hanyalah siasat kucing untuk mendapatkan makanan yang lebih besar, yaitu emaknya, tikus besar.

Mulai hari itu anak tikus mengumumkan keseluruh penduduk tikus bahwa jangan sampai percaya dengan kucing, sekalipun mereka sudah haji.

Mulai saat itu, anak tikus dan seluruh penduduk tikus selalu bersabar dengan cara mengendap-endap, tengok kanan-kiri, selalu buka mata dan telinga untuk menghindari sergapan kucing.

Tindakan kehati-hatian, waspada agar terhindar dari celaka atau kerugian yang dilakukan tikus itulah yang disebut "SABAR".

26/05/07

Kasih saja kenapa sih pa.........

Gimana sih caranya mengajarkan untuk melakukan sesuatu ‘tepat sasaran’ kepada anak kecil?

Anak saya ini memang masih kelas 3 esde…cuma lumayan cerewet juga sih. Apa yang ditanyakan maunya mesti mendapat penjelasan yang ‘ilmiah’ atau ‘make sense’ menurut pemikirannya…..namun kalau dia ngomong atau komentar kadang malah seperti sekenanya aja.

Suatu sore saya sempat mengantarkan dia beli pizza untuk dibawa pulang dan dimakan bareng dirumah. Dalam perjalanan balik kerumah saya harus memelankan mobil dan kemudian berhenti pas di bawah lampu stopan yang baru saja lampu merahnya menyala.

Seperti pemandangan pada umumnya di lampu stopan, kalau gak pengamen yang datang ya pengemis yang mendatangi pengendara yang sedang berhenti dan memanfaatkan waktu selama nyala lampu merahnya untuk mendapatkan receh demi receh.

Beneran juga, dua orang muda datang menghampiri sisi kanan saya untuk mengamen.
Saya sendiri sepontan celingukan mencari uang receh yang biasanya ditaruh dikotak dekat porseneling. Namun kali ini kelihatan kosong, tak ada uang. Saya putuskan untuk memberi kode menolak kepada dua pengamen itu. Agak kecewa rupanya mereka tapi akhirnya pergi untuk menghampiri kendaraan yang berhenti di belakang saya.

”Kenapa pa..?”, anak saya yang duduk dikursi sebelah kiri saya rupanya diam-diam mencermati betul apa yang barusan terjadi.
Saya jawab sekedarnya dengan balik bertanya, “apanya sih yang kenapa..?”
”Yaa..itu tadi…kenapa papa tidak memberinya uang?” tanyanya lagi.

Lampu menyala hijau, saya mulai menginjak gas perlahan melajukan mobil. Belum sempat saya menjawab dia sudah menimpali, ”makanya pa, jangan lupa menyiapkan uang receh, kasihan kan mereka”.

Saya jadi tersenyum dan mencoba membela diri, ’oohh…ndak perlu kasihan kok..bla..bla..”
”Tapi mereka kan perlu bantuan diberi uang pa…kalau nggak gimana cara bantu mereka..?”

Waah…lha kok dia jadi serius gini pikirku…..ehmm….gimana ya jawab pertanyaannya.

Terlintas juga untuk menerangkan bahwa menolong mereka mestinya ya dengan cara yang lebih tepat sasaran pada penyebab bagi mereka menjadi pengamen..bla..bla…memberi uang langsung malah tidak menyelesaikan masalah….bla..bla…tapi walah….ruwet…

Buru-buru akhirnya saya jawab, ”ahh…nanti kan ada lainnya yang urus…..atau tuhanlah pasti yang ngurus..”

Saya berharap setelah saya jawab demikian dia berhenti tidak ngomong soal ini lagi…..

Tapi apa yang meluncur dari mulutnya..??

”Ahh…kasih saja uang kenapa sih pa..?”

”Papa kan punya uang di dompet papa…khan kalau mau berbuat baik lakukan saja…ndak usah mbulet….” Mampuss…….mau jawab apa...(??) Ternyata dia lebih realistis daripada saya yang malah OMDO.