16/07/07

Layak

Suatu ketika anak saya yang sedang belajar bahasa Indonesia, dia bertanya kepada saya soal antonim atau lawan kata dari beberapa kata yang dia sebutkan. Semua pertanyaan tentunya dengan mudah saya jawab seperti misalnya antonim dari pergi adalah datang, antonim dari encer adalah pekat, antonim dari cekatan adalah lamban, dan sebagainya.
Namun ada satu pertanyaan yang membuat saya harus mengakui bahwa saya tidak jago dalam berbahasa Indonesia. Pada saat dia bertanya, “layak itu apa sih pa?” Masih bisa saya jawab, “layak kata lainnya adalah pantas”. Kemudian dia lanjut bertanya, “kalau lawan katanya layak apa pa?” Weleeh…..apa yaa? Lalu saya angkat tangan…., takluk!

Lawan kata dari layak tentunya tidak layak, tapi apa sebutan untuk sesuatu yang tidak layak? Memangnya adakah sesuatu yang tidak layak?

Untuk menentukan layak atau tidak layak, mungkin akan lebih mudah dengan menggunakan ukuran parameter atau nilai tertentu. Namun ukuran-ukuran tersebut bisa berbeda-beda dari setiap kaca mata orang. Umumnya, ukuran yang lebih diakui secara mayoritas yang akan lebih cenderung digunakan. Layak cenderung berarti hal yang dinilai positif dan sebaliknya tidak layak bila dinilai negatif. Akan tetapi, penggunaan ukuran tersebut lebih berbicara tentang kesepakatan dan sebaliknya menurut saya malah cenderung mengaburkan pemahaman tentang layak yang sebenarnya.

Mungkin suatu waktu nanti saya akan mengatakan pada anak saya bahwa kebalikan dari layak adalah angan-angan.

Jadi ingat cerita saya dalam artikel yang berjudul ’Doa yang panjang’. Sewaktu saya dan teman-teman saya mengejek orang yang sedang berlama-lama berdoa, terbersit dalam benak saya, layakkah saya melakukannya? Jawaban yang saya temukan adalah layak!

Tidak perlu bagi saya menggunakan ukuran untuk menentukan layak atau tidak, namun cukup menanyakan mengapa saya dan teman-teman melakukannya. Bukankah setiap kejadian itu hanya merupakan akibat karena sebab. Apa yang telah saya lakukan pastilah ada sebabnya. Sebab apa saya melakukannya karena ternyata saat itu saya adalah seorang pengejek atau pencela, maka layaklah saya mengejek atau mencela. Kalaulah bukan pencela, pastilah tidak mencela. Sebaliknya, orang yang berlama-lama berdoa, dia layak melakukannya karena mungkin dia adalah seorang master pendoa sehingga layaklah dia berdoa panjang.

Ohhh..tidak…ini lebih ngeri lagi, apa penyebab yang paling awal untuk terjadinya sesuatu kalau bukan Sang Maha Pengatur. Bukankah sesuatu hanya terjadi atas ijin dari Sang Maha Pengatur. Sesuatu akan layak terjadi bila dianggap layak terjadi oleh Sang Maha Pengatur. Maka orang yang telah berdoa lama itu telah dianggap layak olehNya untuk bersanding lama denganNya sedangkan saya hanya dianggap layak sebagai pencela. Duh Gusti…ampuni saya ya Gusti…angan-angan saya telah salah dan terlalu lancang menganggap bahwa berdoa panjang itu tidak layak bagi sipendoa itu…..
Terima kasih Gusti telah mengajari saya bahwa semua yang telah terjadi pastilah layak terjadi atas ijinMu. Angan-angan hanya memandang dengan tidak apa adanya tetapi nyatanya tidak nyata terjadi. Sesuatu yang tidak terjadi, tidaklah layak terjadi.

Tidak ada komentar: