25/06/07

Doa yang panjang

Pada suatu kesempatan saya bersama beberapa orang rekan mampir disebuah warung yang sederhana di desa, sebut saja desa Plaza Jembeng.

Ah lumayan pikir saya, berhenti sejenak melepas penat setelah duduk selama dua jam perjalanan di mobil, nongkrong di warung sambil makan mengisi perut yang mulai keroncongan belum makan malam. Jam sudah menunjukkan angka 8.25 malam waktu kami masuk warung. Langsung saja…saya pesan soto daging sama kopi!

Sambil ngobrol ngomong sana-sini dan nyruput kopi tubruk, saya dan rekan-rekan sekali-kali melongokkan pandangan keluar warung. Pandangan sesekali melihat tempat ibadah yang berada diseberang jalan, tepat didepan warung. Di dalam tempat ibadah kelihatan tenang dan sepi namun lampunya masih menyala terang. Hanya dua orang kelihatan duduk tertunduk, seolah seperti patung. Pemandangan yang biasa saja sih...kalau tidak mau disebut membosankan namun tidak mempengaruhi suasana obrolan makan malam kami di warung yang justru malah semakin seru. Sesekali kami tertawa, sesekali kami sedikit beradu argumen, sesekali kami saling meledek. Obrolan pun sangat acak, mulai soal serbet makan bercorak bintik sampai politik, soal sandal melencong ke soal sepiritual. Namanya obrolan diwarung, mutu gak penting yang penting sok melip, asal jeplak dan ngakak. Lagian gak bakalan ada yang protes. Yang jual juga cuek aja.

Seolah tidak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 9 lewat sepuluh menit. Sudah empat puluh lima menit lama waktu yang kami habiskan untuk ngobrol dan makan malam di warung itu. Habis membayar santapan malam, kamipun beranjak untuk keluar dan meninggalkan warung.

Begitu keluar dari warung, tiba-tiba salah satu rekan saya berkomentar setengah bergurau, ”wuih…banyak amat sih dosanya orang itu, dari tadi masih berdoa saja belum selesai”.

Serentak kami menoleh kearah tempat ibadah di seberang jalan dan benar saja, dua orang masih terlihat tetap duduk diposisinya, sama persis seperti yang waktu tadi saya lihat.

Sejenak kami sepertinya kagum memandanginya namun kemudian seorang rekan lain menimpali komentar rekan saya tadi, ”itu sih orang yang hebat, berani menyuruh tuhan melalui doanya, masak gak tahu sih kalau tuhan itu maha tahu dan sudah mengatur segalanya.”

Salah satu rekan saya malah berceloteh, ”ehh..jangan-jangan orang-orang itu semacam sufi yang tahu apa-apa yang akan terjadi pada dirinya…..dia tahu besok akan dipanggil, makanya sekarang berdoa habis-habisan….”

Akhirnya, kamipun saling melempar senyum, kemudian pergi meneruskan perjalanan.

Bersambung…..

sambungan……. selanjutnya baca tulisan berikutnya dengan judul ’Layak’

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Wah..lain kali saya gak berani berdoa panjang kalo ada pak Adam.
padahal biasane gak pernah do'a...abis sholat langsung plencing! Allah khan maha tahu keperluan hambanya! laah...katanya Allah senang ika dimintai...(mbok ya jgn banyak alasan kalo males do'a...halaahhh)