30/07/07

kembang-kembang: Bendera Merah Putih

kembang-kembang: Bendera Merah Putih

Bendera Merah Putih

Hari minggu kemarin sempat jalan-jalan di mall terbesar di daerah elite, Surabaya Barat. Mallnya dari semenjak berdiri sampai sekarang tetap kelihatan megah. Bahkan disekelilingnya tampak lebih bergeliat dengan dibangunnya pertokoan dan gedung-gedung apartemen yang meskipun belum selesai pembangunannya namun sudah kelihatan bakal menjadi bangunan mewah.

Di mall itu awak sempat mampir di toko buku besar dan ternama yang sampingnya dipakai tempat peribadatan. Teringat sebentar lagi dibulan Agustus negeri ini akan memperingati hari kemerdekaannya, ingin pula mengenangnya dengan membeli bendera merah putih ukuran kecil untuk pajangan di meja kerja kantor.

Tengok sana-sani, tidak kelihatan bendera merah-putih, malah awak jadi lirikan beberapa satpam dan penjaga toko buku itu. Akhirnya…….nyerah, tanya saja pada penjaga toko buku itu.

”Ada bendera merah putih tidak…??”

Tiga orang penjaga yang kebetulan sedang bergerombol itu agak celinguan dan hampir serempak mereka menjawab, ”bendera merah putih..?? bendera tidak ada pak…”

”Bee…” terlontar kata itu dari mulut awak dan tercenung sejenak lah awak ini……di negeri manakah awak ini sebenarnya berada..? Jangan-jangan awak ini lagi salah masuk negeri orang lain.

“Waahh…..toko buku semewah ini tidak menjual bendera merah putih…??!! Tidak nasionalis kalian ini..!!” komentar awak kepada para penjaga toko buku itu. Mereka Cuma cengengesan saja.

Sepertinya toko buku besar lainnya entah itu satu group dengan toko buku di mall yang awak kunjungi kemarin maupun lainnya tidak menyediakan bendera. Di toko buku besar yang ada di Sidoarjo juga tidak jual…..ala maaak……alamat apa ini.
Apakah pengusaha di mall-mall sudah tidak kenal atau lupa dengan bendera negeri tempat berpijak kaki mereka, atau pengunjung-pungunjung mall yang sudah tidak butuh bendera lagi?

Bendera negeri ini ternyata hanya terjual di pinggir-pinggir jalan dan pingir kali…..
Karena dijual dipinggir jalan dan di pinggir kali, yang jual maupun yang beli bisa ditebak lah……paling-paling ya kelas masyarakat pinggiran. Awak sadar diri, awak akan beli saja bendera di pinggir jalan….karena awak pastilah termasuk salah satu anggota masyarakat pinggiran. Sedih sekali lah awak ini….awak ini yang kelas pinggiran dan yang masih mengakui merah putih merasa tersesat di negeri asing bila masuk di mall-mall bahkan juga di kantoran-kantoran. Yang awak temui di sana malah banyak bendera dan merk-merk asing berkibar.

Punya siapa sebenarnya negeri ini…???

27/07/07

Ikhlas tingkat lanjutan

Di sela waktu break sebuah acara seminar di salah satu hotel, saya pergi ke toilet. Ternyata toilet sudah penuh, pintunya tertutup semua. Terpaksa menunggu. Untungnya tidak sampai satu menit menunggu salah satu pintu toilet terbuka dan keluarlah seseorang yang ternyata juga sama-sama peserta seminar dari perusahaan lain tapi saya sudah mengenalnya cukup lama.
“Loh pak sampeyan..? Sudah selesai..? Tanya saya.

“Sudah pak, silahkan pak…” dia mempersilahkan saya masuk toilet sementara dia menuju ke tempat cuci tangan yang terletak hanya tiga langkah, pas di depan toilet.

Saya bergegas menuju toilet namun begitu sampai di pintunya…ala maak….(maaf ya) baunya yang tidak sedap itu lho…..langsung menusuk hidung. Saya lihat didalam toilet sih bersih tidak ada bekas air, di tempat duduk closet juga kelihatan kering. Tidak seperti kebiasaan toilet ’basah’ pada umumnya di Indonesia yang habis dipakai mesti terdapat ceceran air. Ini, toilet habis dipakai bersih…., ya tapi baunya itu…membuat saya hampir tidak tahan. Mau balik sungkan juga sama teman saya tadi yang habis memakainya.

Tiba-tiba saya punya akal-akalan untuk mengulur waktu masuk toilet. Saya berhenti didepan toilet lalu basa-basi bercanda dengan teman saya tadi, “eh..kok bersih toiletnya nggak ada bekas airnya…tadi emangnya ngapain aja di dalam toilet?”

Dia melihat saya melalui kaca didepannya sambil tetap mencuci tangannya. Sambil tersenyum dia berkata, “sudah saya bersihkan kok, tinggal pakai saja”.

“Waah baik sekali sampeyan pak…mau repot-repot membersihkan”, saya mencoba mencari omongan. “Hebat juga sampeyan, bisa gak dibutuhkan lagi tuh pegawai cleaning service hotel kalau semua orang kayak sampeyan”.

“Biasa aja….nggak urusan juga sama cleaning service…sekedar urusan pribadi saya sama yang yang diatas saja”. Wah..jawabnya religi juga nih.. “Saya duluan ya pak,” sambungnya sambil berbalik badan kearah ke saya. “Ya pak…” jawab saya singkat. Dia pun pergi meninggalkan saya.

Didalam toilet, saya teringat guyonan tentang ’ikhlas’. Ada yang pernah mencoba menjelaskan ikhlas itu dengan guyonan…(maaf lagi ya), ikhlas itu seperti orang buang hajat. Rasanya ploong setelah melakukannya dan tidak menginginkan kembali dari apa yang telah dikeluarkan. Itulah ikhlas.

Waah..saya jadi tersenyum sendiri dan merasa apa yang dilakukan teman saya tadi berarti malah bukan sekedar buang hajat namun itu adalah ikhlas tingkat lanjutan. Setelah memakai toilet untuk buang hajat, dia membersihkan toilet tanpa ada pamrih dan hasilnya bukan untuk dirinya tapi untuk siapa saja.

Mungkin itu juga merupakan bentuk disiplin pribadi yang benar-benar keluar dari dalam. Ohh…mungkin, itulah kenapa membersihkan toilet merupakan salah satu bentuk hukuman yang popular. Di sekolah, pesantren, kuil shaolin hehe..(di film sih..) bahkan di militerpun hukuman ini sangat populer dikenakan kepada anggota yang melanggar disiplin (yang ringan tentunya).

Membersihkan toilet bisa dianggap pekerjaan ringan dan sepele, namun dapat pula seseorang belajar berdisplin diri dari cara itu. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai pekerjaan yang menjijikkan, hina atau rendah. Namun ”kehinaan” dan ”kerendahan” itu pula yang merupakan bentuk penghambaan sehingga bagi hamba sejati pekerjaan itu sebenarnya adalah kemuliaan dan menjadikannya sebagai urusan pribadi antara dia dan Tuhannya.

Waah…gak bisa diremehkan nih, pekerjaan cleaning service….

18/07/07

Anneurysm

Jam enam pagi istri saya menerima telepon…, ”yaa..betul…yaa…kenapa?!…yaa..yaa…begitu ya….yaa..yaa….terima-kasih..bu..terima kasih segera kami kesana”, braak…telepon ditutup. Saya agak curiga, “ada apa ma..??” Dengan agak tergopoh istri saya menerangkan, “itu tadi telepon dari rumah sakit di Bandung, mas Kadafi masuk rumah sakit..kata ibu tadi di telepon…mas Kadafi koma….sekarang juga kita mesti kesana….”

Kontan saja suasana pagi di rumah langsung menegang. Mas Kadafi itu kakak sulung saya. Dia bekerja di salah satu perusahaan BUMN dan kira-kira tiga bulan lalu dia mendapatkan tugas kerja di Bandung setelah sekian lama bekerja di Makasar. Karena baru pindah ke Bandung, istri dan tiga anaknya yang masih kecil-kecil sementara masih tinggal di rumahnya di Sidoarjo. Di Bandung praktis tidak ada sanak keluarga. Tak ayal kehadiran kami sangatlah ditunggu oleh pihak rumah sakit untuk konfirmasi tindakan medis yang diperlukan.

Pagi itu saya dan istri mendampingi istri kakak saya menuju Bandung. Sayangnya pesawat dari Surabaya ke Bandung hanya berangkat sekitar jam tiga sore, terlalu lama. Kami putuskan untuk naik pesawat ke Jakarta dan kemudian naik bis untuk meneruskan perjalanan dari Jakarta ke Bandung.

Sampai dirumah sakit, ada beberapa orang yang menyambut kami dan mengaku teman kerja kakak saya. Mereka berusaha menjelaskan apa yang terjadi dan sesekali berusaha menghibur kami. Keterangan sementara yang kami dengar dari teman kakak saya, mas Kadafi sekarang masih koma, mengalami pendarahan otak dan dirawat diruang stroke unit. Beberapa saat kemudian seorang suster meminta hanya dua orang dari pihak keluarga untuk menemui dokter yang menangani kasus kakak saya. Saya dan istri kakak saya yang menemui dokter.

Namanya dokter WD, beliau dengan tenang menjelaskan apa yang sedang dialami kakak saya. Gambar-gambar dari hasil CT-scan ditunjukkan oleh beliau. Gambar tengkorak kepala kakak saya banyak dipenuhi oleh warna putih yang menurut dokter, warna putih menandakan keberadaan darah disana. Jadi benar, kakak saya mengalami pendarahan otak. Kenapa itu bisa terjadi pada kakak saya? tanya saya. Dokter menunjukkan gambar-gambar pembuluh darah berwarna dan menjelaskan bahwa ada salah satu bagian pembuluh darah di otak kakak saya yang mulanya mengalami penggelembungan dan ini merupakan suatu kelainan yang sangat mungkin karena faktor bawaan atau sudah ada sejak lahir. Kelainan ini merupakan penyakit yang didunia medis menurut Dokter WD disebut dengan Anneurysm.

Menurut dokter, kemungkinan orang mengalami kasus ini sekitar empat persen dari jumlah kelahiran yang ada. Penggelembungan itu akan terus membesar namun lambat. Pada kasus serupa umumnya penggelembungan baru akan mencapai titik puncaknya hingga mengalami pecah saat usia penderita mencapai 55 tahun keatas. Sedangkan kasus pada kakak saya terjadi 10 tahun lebih awal dari umumnya.

Apa sekarang yang mesti dilakukan? Dokter menjelaskan bahwa sekarang pendarahan sudah terhenti secara alami. Bila dibiarkan resiko yang paling besar kemungkinan otak yang 60% jaringannya tersusun dari lemak akan merespon keberadaan darah yang sudah terlanjur ’mencemari’ otak sebagai benda asing atau toxin. 99% kemungkinan secara alami otak akan mengkerut dan bisa berakibat kemunduran daya ingat secara drastis ingat serta terganggunya system syaraf seiring dengan percepatan rusaknya sel otak sekaligus percepatan proses penuaan dan bahkan lebih fatal bisa mengancam keselamatan jiwa. Hal yang sangat riskan adalah bekas dinding pembuluh darah yang pecah masih sangat rawan untuk terjadi pecah ulang.

Ada peluang lain yang lebih bisa diharapkan yaitu penanganan pembedahan dengan kemungkinan berhasil adalah 50-50. Dokter hanya memberi kami waktu malam itu juga untuk membuat keputusan karena menurut dokter lebih dari dua hari tanpa penanganan pembedahan sudah cukup membawa fatal. Kami pun sepakat untuk mengambil pilihan ini, tentunya dengan resiko biaya yang sangat mahal menurut ukuran kami. Sekenario pembedahan dilakukan, pertama untuk mengeluarkan darah yang telah mencemari otak kemudian selanjutnya untuk proses penjepitan dinding pembuluh darah yang pecah untuk menghindari terjadinya pecah ulang.

Peristiwa itu terjadi sekitar 2 bulan lalu dan puji syukur kepada Tuhan, operasi berjalan lancar dan proses pemulihan kesehatan termasuk pemulihan ingatan berjalan dengan baik sekali. Ibu saya banyak berdoa memohon kesembuhan. Saudara dan teman kami pun saling mendoakan dan memberikan dukungan. Terima kasih yang sangat dalam.

Sekarang kakak saya sudah mulai bisa bekerja lagi meskipun masih dalam pengawasan dokter secara intensif. Menurut dokter, faktor usia yang relative masih muda mendukung proses penyembuhan yang lebih cepat. Resiko yang masih menghantui sekarang adalah, respon otak terhadap penjepit yang telah dipasang bisa mengakibatkan produksi cairan otak yang berlebih, umumnya disebut Hydrocepalhus. Bila ini terjadi, perlu pembedahan ke dua untuk menanganinya.
Sungguh, ini semua menjadi ujian sekaligus pembelajaran yang sangat berarti bagi kami untuk lebih mengenal diri kita dan lebih mendekat kepadaNya. Terima kasih Tuhan.

16/07/07

Layak

Suatu ketika anak saya yang sedang belajar bahasa Indonesia, dia bertanya kepada saya soal antonim atau lawan kata dari beberapa kata yang dia sebutkan. Semua pertanyaan tentunya dengan mudah saya jawab seperti misalnya antonim dari pergi adalah datang, antonim dari encer adalah pekat, antonim dari cekatan adalah lamban, dan sebagainya.
Namun ada satu pertanyaan yang membuat saya harus mengakui bahwa saya tidak jago dalam berbahasa Indonesia. Pada saat dia bertanya, “layak itu apa sih pa?” Masih bisa saya jawab, “layak kata lainnya adalah pantas”. Kemudian dia lanjut bertanya, “kalau lawan katanya layak apa pa?” Weleeh…..apa yaa? Lalu saya angkat tangan…., takluk!

Lawan kata dari layak tentunya tidak layak, tapi apa sebutan untuk sesuatu yang tidak layak? Memangnya adakah sesuatu yang tidak layak?

Untuk menentukan layak atau tidak layak, mungkin akan lebih mudah dengan menggunakan ukuran parameter atau nilai tertentu. Namun ukuran-ukuran tersebut bisa berbeda-beda dari setiap kaca mata orang. Umumnya, ukuran yang lebih diakui secara mayoritas yang akan lebih cenderung digunakan. Layak cenderung berarti hal yang dinilai positif dan sebaliknya tidak layak bila dinilai negatif. Akan tetapi, penggunaan ukuran tersebut lebih berbicara tentang kesepakatan dan sebaliknya menurut saya malah cenderung mengaburkan pemahaman tentang layak yang sebenarnya.

Mungkin suatu waktu nanti saya akan mengatakan pada anak saya bahwa kebalikan dari layak adalah angan-angan.

Jadi ingat cerita saya dalam artikel yang berjudul ’Doa yang panjang’. Sewaktu saya dan teman-teman saya mengejek orang yang sedang berlama-lama berdoa, terbersit dalam benak saya, layakkah saya melakukannya? Jawaban yang saya temukan adalah layak!

Tidak perlu bagi saya menggunakan ukuran untuk menentukan layak atau tidak, namun cukup menanyakan mengapa saya dan teman-teman melakukannya. Bukankah setiap kejadian itu hanya merupakan akibat karena sebab. Apa yang telah saya lakukan pastilah ada sebabnya. Sebab apa saya melakukannya karena ternyata saat itu saya adalah seorang pengejek atau pencela, maka layaklah saya mengejek atau mencela. Kalaulah bukan pencela, pastilah tidak mencela. Sebaliknya, orang yang berlama-lama berdoa, dia layak melakukannya karena mungkin dia adalah seorang master pendoa sehingga layaklah dia berdoa panjang.

Ohhh..tidak…ini lebih ngeri lagi, apa penyebab yang paling awal untuk terjadinya sesuatu kalau bukan Sang Maha Pengatur. Bukankah sesuatu hanya terjadi atas ijin dari Sang Maha Pengatur. Sesuatu akan layak terjadi bila dianggap layak terjadi oleh Sang Maha Pengatur. Maka orang yang telah berdoa lama itu telah dianggap layak olehNya untuk bersanding lama denganNya sedangkan saya hanya dianggap layak sebagai pencela. Duh Gusti…ampuni saya ya Gusti…angan-angan saya telah salah dan terlalu lancang menganggap bahwa berdoa panjang itu tidak layak bagi sipendoa itu…..
Terima kasih Gusti telah mengajari saya bahwa semua yang telah terjadi pastilah layak terjadi atas ijinMu. Angan-angan hanya memandang dengan tidak apa adanya tetapi nyatanya tidak nyata terjadi. Sesuatu yang tidak terjadi, tidaklah layak terjadi.

05/07/07

Layak menggerutu

Malam itu kami berlima sepakat untuk makan malam di restoran, di sebuah hotel tempat kami menginap. Jam sudah menunjukkan jam enam malam lewat empat puluh delapan menit ketika kami memasuki loby hotel sepulang dari pabrik tempat kami mengadakan konferensi.
Mungkin kami mempunyai pikiran yang sama, capek dan lapar setelah seharian bersitegang dalam konferensi sehingga tawaran yang begitu banyak nan gemerlapnya kehidupan malam dari sebuah kota Bangkok tidaklah membangkitkan selera untuk berburu pengalaman diluar hotel tempat kami menginap. Yang terbayang dalam pikiran hanyalah makan malam sambil ngobrol lalu istirahat karena besok mungkin tidaklah lebih baik dari keadaan dalam konferensi tadi siang. Kamipun sepakat untuk pesan tempat di restoran Italia yang terletak di sebelah kiri dalam loby hotel.

Didepan pintu restoran sudah ada satu orang pelayan wanita dan satu lagi pelayan pria yang siap menyambut setiap tamu yang datang. Keduanya melemparkan senyum dan mengucapkan salam khas Thailand kepada rombongan kami yang mau melangkah masuk pintu restoran, ”Sawadee, kap kun kaap, kap kun kaa”. Kemudian si pelayan wanita dengan hormatnya memberi tahukan kepada salah satu dari kami untuk memenuhi ketentuan pakaian yang mesti dikenakan bagi pengunjung restoran. Seorang kolega saya itu memang hanya menggunakan kaos oblong meskipun luarnya di tutupi dengan jas, namun tetap saja kaos oblong rupanya tidak diperkenan untuk dipakai bagi pengunjung restoran tersebut. Si pelayan juga mempersilahkan kolega saya melihat semacam papan pengumuman di sebelah kiri pintu masuk. Sepintas saya lirik memang ada gambar kaos oblong dicoret selain gambar sandal dan celana pendek di coret. Perdebatan kecil terjadi namun akhirnya kolega saya mundur untuk mengganti pakaiannya sementara kami akhirnya mendahului dia masuk restoran.

Waah..mau makan aja pakai aturan yang ketat segala….ribet banget sih….
Ternyata tidak hanya seperti dalam film saja, tapi sekarang saya mengalami sendiri. Untung saja bukan saya yang ditolak untuk masuk restoran.

Didalam restoran kami sempat sebentar membahas kejadian tadi. ”Apa sih kata pelayan tadi?”, tanya saya kepada kolega tadi setelah kembali bersama kami dengan pakaiannya yang berkerah. Dia menjawab setengah menggerutu, ”Gak tahulah, itu hanya omong kosong, peraturan yang konyol, dia bilang saya tidak layak masuk restoran dengan kaos oblong”.
Salah satu kolega saya yang lain malah menggodanya, ”John….ini saatnya menggerutu dan kamu layak menggerutu sekarang…hahahaha..”
Mendengar celetukan itu, John tersenyum juga meski kecut, “ok…and you juga layak mendapatkan ini..”, sahut dia seraya melemparkan potongan kecil roti kering kearah kolega saya yang menggoda.
Kamipun semua tertawa….dan sesaat kemudian melupakan kejadian tadi dengan obrolan lain sambil sibuk menyelesaikan santapan malam sampai tidak terasa, dua jam lebih kami telah menghabiskan waktu hanya untuk ngobrol dan makan malam di sebuah restoran Italia…..yah…itu juga berarti dua jam lebih kami telah layak melakukannya…dan nyatanya bersamaan dengan waktu itu kami belum layak meskipun hanya untuk sekedar keluyuran di luar hotel.