21/11/07

Lebih dari kesalahan

Apakah permintaan maaf hanya patut diucapkan saat kita merasa bersalah? Ataukah permintaan maaf sekedar soal sepele tanpa makna yang menjadi tradisi? Ane punya pengalaman tentang maaf ini.

“Seminggu lagi saya pensiun. Maukah anda memaafkan saya dan tetap menjadi sahabat saya meskipun saya telah pensiun?” Kalimat itu terucap untuk ane dari seorang pejabat tinggi senior sebuah perusahaan di Jepang. Ane agak bengong juga mendengarnya. Apa gak salah denger nih pikir ane? Beliau itu khan customer penting bagi perusahaan tempat ane kerja. Mestinya ane yang bilang gitu karena ane musti melayani beliau sebagai customer ane. Kaget campur bengong, namun segera meluncur jawaban ane, “anda customer penting kami, kami sangat menghormati anda, mestinya kami yang meminta maaf dan kami benar-benar kawatir kehilangan anda”.
Beliau tersenyum lalu berkata,”mohon maaf, mohon maaf, bukan itu, tapi saya benar-benar serius dengan permohonan saya itu”. Ups...ada apa ini..? Tapi okelah, tentu saja saya langsung meng ‘iya’ kan permohonan beliau.

Diwaktu dan tempat yang lain, ane sempat mengantarkan kawan ke desa di kaki gunung Kawi. Disana ane bertemu dengan seorang tetua yang kami tuju. Sambutan Pak Tetua sangat ramah. Ane dan kawan ane langsung dipersilahkan untuk makan terlebih dahulu. Hidangan makan telah disediakan, nasi lengkap dengan sayur dan lauk pauknya. Ane agak heran juga, namun menurut kawan ane, begitulah tradisinya.
Pak Tetua itu baru berkenan menemui kembali setelah ane dan kawan ane selesai makan. Kemudian kawan ane menyelesaikan urusannya dengan Pak Tetua. Selesai urusan, kami minta pamit untuk meneruskan perjalanan kembali. Pak Tetua mempersilahkan dan menyalami kawan ane sambil meminta maaf. Giliran bersalaman dengan ane, Pak Tetua juga meminta maaf kepada ane. Lah...kenapa beliau minta maaf ke ane segala? Ane kenal beliau saja baru sekali itu. Malah ane rasa Pak Tetua orangnya terlalu baik dan sangat menghargai tamunya. Apa salah beliau hingga minta maaf? Mungkin lagi-lagi itu sekedar tradisi atau kebiasaan beliau saja. Nggak tahu sih. Ane pun akhirnya cuma tiru-tiru beliau saja, meminta maaf balik lalu mengucapkan salam dan pamit.

Permintaan maaf dalam pikiran ane pasti ada hubungannya dengan kesalahan. Kesalahan mungkin bisa saja disengaja tapi mungkin juga tidak. Kesalahan bisa saja nampak tapi mungkin saja tersembunyi. Bagi orang yang berhati-hati untuk tidak meninggalkan salah, maka permintaan maaf merupakan jalan keluar.

Tapi ane jadi ragu dengan maksud permintaan maaf. Masih banyak lagi orang yang ane jumpai dengan permintaan maaf meskipun justru saat mereka memberikan sesuatu atau membantu. Bahkan permintaan maaf dari orang yang baru saja kenal. Apakah benar maaf di ucapkan hanya untuk upaya menghapus kesalahan?

Hingga pada bulan Syawal kemarin ane bersilaturahmi kepada salah seorang Guru Spiritual di Surabaya, ane mendapatkan pengertian tambahan tentang permintaan maaf. Beliau menerangkan bahwa pada umumnya setiap orang punya pengharapan. Saat kita bertemu dengan orang lain pun, kita punya pengharapan kepada orang itu, demikian juga sebaliknya. Satu contoh, bila seorang murid bertemu dengan guru, murid mengharapkan sesuatu kepada guru misalnya mendapatkan ilmu yang diharapkan. Guru akan meminta maaf kepada murid bila pengharapan murid tidak terpenuhi sebagian atau keseluruhan karena satu dan lain hal. Maaf bukan sekedar karena kesalahan, maka saling meminta maaf dan memaafkan lah.


Terima kasih Guru, ane juga mohon maaf ya...mohon maaf juga untuk semua pembaca...

1 komentar:

Panggil Aku "LINDI" mengatakan...

penyampaian kata 'ma'af'
entah kita berbuat benar/salah dalam situasi apapun 'Suka dan Duka'
mencerminkan sikap;
'Tawadhu' dan 'Ruhiyah' yang kuat seorang Mu'min Sejati.
ALHAMDULILLAH SEMOGA ISTIQOMAH