27/11/07

Rumput yang berbunga

Suatu ketika ane baru sadar bahwa dibawah cendela kantor ane ditumbuhi rumput yang berbunga. Sebelum itu, ane tidak pernah sadar atau memperdulikannya. Yah..wajar saja sih. Lha ngapain ngurusin rumput dibawah cendela? Pekerjaan ane banyak. Ane pun dibayar juga tentunya bukan untuk ngurusi rumput. Urusan ane di kantor jauh lebih penting dari soal rumput. Persoalan dalam pekerjaan ane telah menyedot dan menghipnotis semua perhatian ane hingga puyeng.

Tapi hari itu ane bener-bener lagi puyeng dengan banyaknya persoalan yang mesti di selesaikan. Ketambahan lagi....ac di kantor...mati! Huh..bikin emosi cepet naik nih. Hem...perlu melakukan sesuatu nih, pikir ane. Ane coba untuk sedikit menghirup nafas dalam-dalam biar lebih rileks dan menurunkan emosi. Biar lebih pass lagi, ane coba membuka cendela dibelakang tempat duduk ane. Sambil melongok keluar, ane kemudian meneruskan menghirup udara dalam-dalam. Nah..pass waktu itu ane tiba-tiba melihat kebawah cendela, nampak bunga kecil-kecil warna kuning bermekaran diatas rumput.

Entah kenapa, bunga-bunga itu seolah menyapa, tersenyum kepada ane. Semakin ane pandang, semakin indah saja rupanya. Seketika itu pula perhatian ane fokus tertuju pada bunga-bunga kecil itu. Persoalan kerja tiba-tiba entah hilang kemana. Ane terpukau. Semakin ane amati, bunga-bunga itu nampak begitu menakjubkan. Luar biasa!

Ane yakin, ini bukan kebetulan semata. Tidaklah mungkin bunga-bunga itu tumbuh begitu saja tanpa tujuan. Tapi apa tujuannya? Hm..seandainya saja bunga itu ditangan seorang pecinta yang mendekati dan mempersembahkan bunga-bunga itu kepada kekasihnya....dan pecinta itu pun ucapkan puisinya;

Kuberikan padamu, kuntum bunga indah menakjubkan
Begitu Ku menyapamu, agar mudah kau mengenal Ku
Tuk yakinkan dirimu akui mu milik Ku dalam cinta dan kasih Ku


Ane seketika itu tersentak. Bunga-bunga itu adalah nyata! Nyata berada di depan ane dan ane melihatnya. Tentu saja bunga-bunga itu untuk ane. Seperti dalam puisi itu!

Sungguh tergetar hati ane. Bunga-bunga itu diberikan. Ane hanya diberi. Berarti ADA yang memberi. Tak mungkin ane menerima bunga begitu saja tanpa melihat atau ingat dengan pemberinya. Intinya adalah Sang Pemberi bukan pemberian itu sendiri. Begitu sadar ane, bahwa tentu ADA yang menyapa ane, ADA yang memberikan bunga-bunga itu untuk ane. Ane hanya bisa mengakui, KAU benar ADA dengan cinta dan kasih.

Sungguh luar biasa nan menakjubkan. Bunga kecil yang begitu indah diberikan Nya. Tak hanya itu, namun juga sampai bunga mawar merah super nova yang super besar di langit pun Dia berikan. Bunga-bunga dalam bentuk lain pun Dia berikan. Dari pekerjaan, persoalan sampai pada tubuh diri ini Dia berikan. Alam semesta dari yang kecil sampai yang besar, dari yang terlihat sampai yang tidak terlihat, dari nyata sampai yang gaib, dari gerak sampai diam, semua Dia berikan. Namun Dia yang selalu memberi justru lebih sering terlupakan dengan hanya melihat pemberian Nya saja. Ane mohon ampun.

Maha Suci Dia. Segala Puji dan Puja hanyalah milik Nya. Dia Maha Besar.

21/11/07

Lebih dari kesalahan

Apakah permintaan maaf hanya patut diucapkan saat kita merasa bersalah? Ataukah permintaan maaf sekedar soal sepele tanpa makna yang menjadi tradisi? Ane punya pengalaman tentang maaf ini.

“Seminggu lagi saya pensiun. Maukah anda memaafkan saya dan tetap menjadi sahabat saya meskipun saya telah pensiun?” Kalimat itu terucap untuk ane dari seorang pejabat tinggi senior sebuah perusahaan di Jepang. Ane agak bengong juga mendengarnya. Apa gak salah denger nih pikir ane? Beliau itu khan customer penting bagi perusahaan tempat ane kerja. Mestinya ane yang bilang gitu karena ane musti melayani beliau sebagai customer ane. Kaget campur bengong, namun segera meluncur jawaban ane, “anda customer penting kami, kami sangat menghormati anda, mestinya kami yang meminta maaf dan kami benar-benar kawatir kehilangan anda”.
Beliau tersenyum lalu berkata,”mohon maaf, mohon maaf, bukan itu, tapi saya benar-benar serius dengan permohonan saya itu”. Ups...ada apa ini..? Tapi okelah, tentu saja saya langsung meng ‘iya’ kan permohonan beliau.

Diwaktu dan tempat yang lain, ane sempat mengantarkan kawan ke desa di kaki gunung Kawi. Disana ane bertemu dengan seorang tetua yang kami tuju. Sambutan Pak Tetua sangat ramah. Ane dan kawan ane langsung dipersilahkan untuk makan terlebih dahulu. Hidangan makan telah disediakan, nasi lengkap dengan sayur dan lauk pauknya. Ane agak heran juga, namun menurut kawan ane, begitulah tradisinya.
Pak Tetua itu baru berkenan menemui kembali setelah ane dan kawan ane selesai makan. Kemudian kawan ane menyelesaikan urusannya dengan Pak Tetua. Selesai urusan, kami minta pamit untuk meneruskan perjalanan kembali. Pak Tetua mempersilahkan dan menyalami kawan ane sambil meminta maaf. Giliran bersalaman dengan ane, Pak Tetua juga meminta maaf kepada ane. Lah...kenapa beliau minta maaf ke ane segala? Ane kenal beliau saja baru sekali itu. Malah ane rasa Pak Tetua orangnya terlalu baik dan sangat menghargai tamunya. Apa salah beliau hingga minta maaf? Mungkin lagi-lagi itu sekedar tradisi atau kebiasaan beliau saja. Nggak tahu sih. Ane pun akhirnya cuma tiru-tiru beliau saja, meminta maaf balik lalu mengucapkan salam dan pamit.

Permintaan maaf dalam pikiran ane pasti ada hubungannya dengan kesalahan. Kesalahan mungkin bisa saja disengaja tapi mungkin juga tidak. Kesalahan bisa saja nampak tapi mungkin saja tersembunyi. Bagi orang yang berhati-hati untuk tidak meninggalkan salah, maka permintaan maaf merupakan jalan keluar.

Tapi ane jadi ragu dengan maksud permintaan maaf. Masih banyak lagi orang yang ane jumpai dengan permintaan maaf meskipun justru saat mereka memberikan sesuatu atau membantu. Bahkan permintaan maaf dari orang yang baru saja kenal. Apakah benar maaf di ucapkan hanya untuk upaya menghapus kesalahan?

Hingga pada bulan Syawal kemarin ane bersilaturahmi kepada salah seorang Guru Spiritual di Surabaya, ane mendapatkan pengertian tambahan tentang permintaan maaf. Beliau menerangkan bahwa pada umumnya setiap orang punya pengharapan. Saat kita bertemu dengan orang lain pun, kita punya pengharapan kepada orang itu, demikian juga sebaliknya. Satu contoh, bila seorang murid bertemu dengan guru, murid mengharapkan sesuatu kepada guru misalnya mendapatkan ilmu yang diharapkan. Guru akan meminta maaf kepada murid bila pengharapan murid tidak terpenuhi sebagian atau keseluruhan karena satu dan lain hal. Maaf bukan sekedar karena kesalahan, maka saling meminta maaf dan memaafkan lah.


Terima kasih Guru, ane juga mohon maaf ya...mohon maaf juga untuk semua pembaca...

02/11/07

Pemiliknya lebih tahu

Beberapa hari ini Brodin menjadi bahan omongan beberapa orang-orang dikampung. Orang-orang itu biasa ngobrol dipinggir jalan yang dilalui Brodin pergi ke pasar dan juga saat pulang dari pasar.

Seperti hari-hari sebelumnya, pagi itu Brodin pergi kepasar untuk menjual barang dagangannya sekaligus belanja barang-barang untuk keperluannya. Brodin kepasar dengan menunggang keledainya yang kecil dan kurus. Keledai itu berjalan cukup pelan dan nampak susah payah dengan beban dipunggungnya. Namun Brodin seolah tidak memperdulikan itu dan terus menunggang keledainya sampai tujuan.

Orang-orang yang biasa ngobrol dipinggir jalan nampak mulai menggunjing Brodin yang sedang lewat didepannya. Salah satu dari mereka menegur Brodin, ”Din keledaimu perlu kamu kasihani tuh, keberatan membawamu”. Yang lain menimpali, ”biasanya kamu kepasar jalan kaki, tapi semenjak kamu punya keledai, kamu semakin nampak tolol”. Masih banyak lagi olok-olok lainnya yang mereka lontarkan kepada Brodin.

Melihat dan mendengarkan orang-orang yang mengolok-oloknya itu, Brodin hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Sementara itu Brodin tetap saja menunggangi keledainya itu sampai ke pasar yang dituju.

Selesai dengan urusannya dipasar, seperti biasa Brodin pulang dengan membawa beberapa barang keperluannya. Dalam perjalan pulang, Brodin melalui jalan yang sama dengan jalan yang dilaluinya tadi waktu berangkat ke pasar.

Kali ini yang nampak susah payah berjalan dengan beban berat dipunggungnya adalah Brodin. Peluhnya membasahi muka dan sebagian bajunya. Brodin berjalan pulang dari pasar dengan memanggul keledai dan barang-barang bawaannya.

Orang-orang di pinggir jalan yang suka menggunjingnya mulai mengolok-ngolok saat Brodin lewat didepannya. ”Din, apa gunanya kamu punya keledai?” Yang lainnya ada yang menyindir, ”itulah gunanya keledai mempunyai majikan”. Masih banyak lagi cemooh dan sindiran yang mereka lontarkan kepada Brodin.

Melihat orang-orang itu dengan segala cemooh dan perkataan mereka, Brodin hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada mereka. Brodin terus saja meneruskan perjalanannya pulang ke rumah dengan tetap memanggul keledai dan barang-barang bawaannya itu.

Kejadian seperti itu telah terjadi beberapa minggu. Selama itu pula Brodin menerima cemooh, olok-olok maupun sindiran dari orang-orang dipinggir jalan itu. Hingga, sampailah keesokan harinya Brodin tidak kepasar tapi pergi untuk mengundang orang-orang yang biasa ditemuinya itu.

Malam harinya pada waktu yang telah ditentukan, orang-orang yang diundang oleh Brodin, telah datang ke rumah Brodin. Ternyata, Brodin mengundang mereka untuk makan bersama.

Setelah Brodin menjelaskan maksud acara makan bersama tersebut untuk bersyukur, tanpa bisa menolak, akhirnya orang-orang yang telah diundang oleh Brodin, makan bersama.

Sebelum orang-orang beranjak dari tempat masing-masing seusai makan, seorang diantara mereka berbasa-basi bertanya, ”mana keledai kurus yang malang punyamu itu Din?”. Mendengar pertanyaan itu, hampir semua yang hadir tertawa.

Dengan tenang Brodin bercerita, ”yah, keledai saya itu adalah harta paling mahal dari semua yang aku miliki. Keledai saya itu memang baik, tak pernah rewel atau protes. Namun bagaimanapun juga, saya sebagai pemiliknya lebih tahu kondisinya. Saya tahu kapan dia harus membantu saya, kapan pula saya membantu atau merawatnya. Saya pula yang tahu kapan saya membutuhkan dagingnya. Diapun pasrah ketika tadi pagi saya mengorbankannya untuk hidangan makan bersama kita tadi. Mohon maaf, adakah dari tuan-tuan yang ingin protes atas kejadian ini?”

Tidak sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka kecuali kata terima kasih dan salam pamit pulang.